Sebuah Ikrar

Sebuah angka adalah simbol yang digunakan pada bilangan untuk menggambarkan nomor pada notasi di sistem bilangan. Diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Begitu yang aku pelajari. Aku mempunyai dua angka favorit. Dari bilangan 1-10 aku menyukai angka 9. Konon angka 9 adalah angka keberuntungan. Mengandung misteri, teka teki, bintang ganda dan memiliki arti kekal. Nomor rumahku saja angka 9. Nomor ponselku juga ada angka 9. Angka favoritku yang kedua adalah angka 30. Mungkin karena tanggal lahirku jatuh pada angka 30. Angka 30 adalah tanda usia seseorang memasuki benar-benar masa dewasanya. 30 juga bagian dari Kitab Bilangan dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, termasuk dalam kumpulan Kitab Taurat yang ditulis oleh Musa, dan Al-Quran yang juga terdiri dari 30 juz.

Angka 30 kini menjadi salah satu kenangan yang tak bisa ku lupakan. Angka itu ada pada nomor apartemenmu, pada kenangan saat hari ulangtahunku, juga tanggal dimana sebuah ikrar yang kita ucapkan pada sore yang diwarnai langit abu-abu, derasnya hujan dan butiran air yang menghiasi kaca jendela ruangan 3x4 berdinding gelap. Tanggal itu adalah hari dimana kita memberikan segalanya untuk bersama. Hari dimana kita berjanji melebihi janji yang pernah kita buat. Hari dimana aku seutuhnya milikmu dan kau seutuhnya milikku. Hari dimana sebuah harapan menjadi satu. Hari dimana benang takdir telah terikat dengan suci. Hari dimana kita lebih dari sepasang kekasih. Hari dimana seluruh hidupku berubah. 

Kau disana dengan sedikit gugup berlagak tegas memintaku untuk menjadi milikmu. Kau bilang ini pertama kali membuat permintaan seperti ini. Dan tentu saja pertama kalinya aku diminta seperti itu. Apa kau melihat wajahku yang terkejut saat tiba-tiba mendengar permintaanmu. Jika saja aku tidak pura-pura bersikap santai, kau akan melihat diriku habis dilahap rasa malu. Rasa senang, gugup dan sedikit takut. Namun setelah beberapa lama, akhirnya ikrar itu terucap. Sebuah akad yang sangat sederhana, sangat biasa, sangat santai, serta sangat tertutup. Kami pun resmi bersatu. 

Perempuan sepertiku menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sangat sakral. Bukan hal yang mudah untuk ku lakukan apalagi dengan berbagai sejarah yang pernah aku alami. Ada ketakutan terbesar yang aku rasakan. Namun saat kau memintaku aku bahkan tidak ragu. Aku juga menginginkanmu seperti kau menginginkanku bahkan mungkin lebih besar dari itu. 
Aku bukan perempuan pengagum sebuah pernikahan yang mewah, indah, dan meriah. Beberapa kali aku berlagak menyukai hal-hal seperti itu. Mencoba seperti perempuan lain yang sangat suka berandai-andai merasakan pernikahan indah untuk sekali seumur hidup. Tapi jika dipikir-pikir itu bukan hal ku inginkan. Bahkan bagiku tidak perlu hal semacam itu untuk benar-benar bersatu. Satu ikrar suci mampu mengikat dua insan untuk dapat hidup bersama. Sederhana itu.Saat itu aku merasakannya. Kita terikat satu sama lain. Tidak ada halangan. Tidak ada keraguan. Tidak ada ketakutan. Kita merasa bebas. 

Ingatkah kau saat kita akhirnya berada di tempat tidur kamarmu, diatas kasur busa tempat biasa kita habiskan banyak waktu berdua. Aku sadar sepersekian detik dan menemukan dua tubuh tak berbusana. Kau memelukku erat memberiku kehangatan disaat hujan masih saja deras mengguyur kota ini. Aku bisa melihatnya dari jendela lebar persegi tepat diatas kepala kita. Bibirmu menyentuh setiap inci tubuhku lalu berakhir di bibirku. Kita menikmatinya. Menikmati alur yang terjadi setelahnya. Tak ada jarak yang melebar. Kita sama-sama terkunci. Kita terlelap dalam kasih yang dalam. Aku harap hujan selalu datang membawa kebahagiaan seperti ini. Bukan membawa banjir yang menjebak kita pada malam hari hingga kau merasakan sakit yang hebat pada kepalamu. Kita pun tertawa saat mengenangnya kembali.

Kembalikan aku pada masa itu. Saat-saat bahagia yang kita ciptakan. Kehangatan yang kita wujudkan. Kepada rindu yang selalu kita elu-elukan. Tawa serta kekonyolan yang sering kita buat. Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Semua kenangan membawa tangis yang begitu deras seperti hujan pada hari itu. Terasa begitu singkat, hingga kita saling menyakiti walau banyak kesempatan untuk dapat menjalin kebersamaan kembali. Kau memilih untuk pergi. Sementara aku memilih untuk tinggal. Terlalu keras kepala untuk meneruskan, terlalu keras kepala untuk meninggalkan. Semua harapan hancur lebur seperti ikrar yang kau putus paksa. Bahkan bagimu akad yang pernah kita lakukan tidak lebih besar daripada sebuah janji yang dulu pertama kali kita buat. Tapi maaf, bagiku akad itu adalah hal yang penting, terlalu besar dan segalanya. 

Aku mengenang tanggal ini. Aku mengenang momen ini. Aku mengenang kita. Aku mengenangmu. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu. 


-Dokumenter tanggal 30 Mei. 

Tengah Malam

Enam jam perjalanan aku habiskan untuk datang ke kota ini lagi. Desember lalu aku meninggalkannya untuk kabur dari hal-hal menyakitkan yang sudah terjadi. Situasi sulit, tidak berujung dan menjebakku hingga saat ini. Kota ini masih sama. Masih ramai. Masih dengan udara yang panas. Masih dengan lalu lintas yang berantakan. Masih dengan kemacetan yang menyebalkan. Masih dengan rasa yang sama. Masih dengan kenangan yang sama. Yang berubah hanya satu, dia.

"Jadi mampir ke rumah?" Suara halus wanita diseberang sana membuyarkan lamunanku di tengah kemacetan. Wanita itu menelepon menanyakan apa aku sudah sampai atau belum.
"Iya tante, ini masih macet" jawabku.
"Ya sudah hati-hati" Suara itu mati.
Ku letakkan ponsel di kursi sebelah. Aku lelah, pikirku. Seharusnya aku beristirahat dulu sebelum berkendara ke kota tetangga. Setelah check in hotel, aku hanya masuk kamar untuk meletakkan tas lalu membersihkan diri. Sore hari adalah jam orang-orang pulang kantor tentu benar-benar akan menghabiskan waktu yang panjang. Butuh sejam aku sampai kesana. Aku membayangkan diriku tidur di atas empuknya kasur hotel. Lumayan besar untuk tidur sendiri. Aku sangat berterimakasih pada saudaraku yang memberikan voucher gratis menginap di hotel ini. Karena tidak mungkin aku mampu merogoh saku untuk membayar kamar mewah ini.

Sore itu sesampai disana, bukan hal yang menyenangkan kembali ke rumah. Rumah kedua kurasa, entahlah aku tidak dapat menamainya rumah tempatku untuk pulang. Dua tahun sudah ku habiskan waktuku disini. Bersama dengan Ayahku yang tidak ku kenal, berserta keluarganya. Bukan hal mudah. Sedikit murka karena aku menghilang dari hampir dua bulan yang lalu. Diceramahi habis-habisan bukan hal yang menyenangkan. Mungkin aku sedikit memperlihatkan wajahku yang menyesal atas tindakanku dan ya sedikit air mata yang ku buat agar mereka percaya. Jujur saja, aku tidak begitu mendengarkan apa ocehannya. Pikiranku melayang ke tempat yang lain. Air mata itu untuk hal yang lain. Aku merindukan dia.

Ku tancapkan gas mobil berkendara dengan kencang. Suara Elvis Presley yang terputar tidak ku hiraukan. Aku sudah meninggalkan kota tetangga kembali menuju kota ini. Awalnya aku berpikir untuk langsung pulang ke hotel tapi tidak. Ada tempat yang ingin ku datangi. Tempat dimana semua kenangan terbuat. Tempat dimana semua pernah ada aku dan dia. Disinilah aku, berputar-putar di jalanan komplek dekat apartemen timur kota ini. Sesekali berhenti, sesekali jalan. Lalu aku berhenti tepat di dekat apartemen yang pernah aku tempati. Ada beberapa yang baru. Ruko di bawah mulai terisi. Jalan sampingnya ditutup mobil-mobil untuk parkir. Jalanan terlihat sepi. Pukul hampir tengah malam, aku diam di dekat apartemennya.

Aku mengirim pesan padanya,

Aku ada di dekat tempatmu, bisa kita bertemu?. 11.53pm

Bukankah sudah ku bilang, aku tidak ingin bertemu. 11.54pm

Aku benar-benar ingin bertemu. 11.54pm

Aku akan bertemu jika rasa yang kau punya untukku sudah hilang. 11.55pm

Aku masih menyayangimu. 11.56pm

Kalau begitu lupakan, aku tidak akan turun dan bertemu denganmu. 11.57pm

Kenapa kau harus seperti ini?. 11.57pm

Dia membalas lagi dengan kata-kata yang dingin seperti biasanya. Untuk sekian kali, kata-kata itu mengancurkanku. Tanganku gemetar. Dadaku terasa sesak.

Tidakkah aku berharga untukmu?. 12.05am

Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan.
Malam itu semua terasa begitu menyakitkan. Kedatanganku sia-sia. Aku menghidupkan mobil melangkah pergi. Tepat setelah kata-kata itu terbaca, aku sungguh merasa tidak pernah ada aku di masa depannya.
Malam itu jalanan sepi. Di perjalanan menuju hotel, aku menangis kencang.


-Taman Angsa, 4 Februari 2017