Sebuah Nama

Kamu
Kamu
Kamu 
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu

Hanya namamu yang ku tulis dalam buku kecilku, tidak ada yang lain hanya namamu. 
Hampir seharian aku berada dalam ruangan sempit sebelah kamar tidurku, yang bisa dikatakan ruangan itu dulunya kamar lamaku, kini menjadi ruangan penuh barang dengan dua lemari tua, serta celah kosong dalam ruangan itu ku jadikan tempat ibadah milikku. ntah mengapa aku menghabiskan waktuku disana, ibuku bahkan memerhatikan anaknya yang mulai aneh dengan tingkah lakunya. 
Aku berubah, begitu kata beliau. 
Ditemani dengan lagu lawas yang sangat ku gilai, berlembar- lembar kertas kusam, dan awan suram. 

Namamu, yang mewakili dirimu kini menemani sepiku. 
Hidup dalam nestapa bukanlah perkara mudah, aku tidak menginginkan ini. Hanya saja aku terlalu terikat pada dirimu. 
Berkali- kali kau mengatakan padaku, untuk menjauh dan melupakan dirimu.
Maaf, aku tidak bisa melupakanmu.
Aku benar- benar tidak mampu melepasmu.
Perihal kebahagiaan, untukmu akan selalu kudoakan. Aku rela memberi semua porsi milikku untukmu. Tidak apa asal kau bahagia tentunya. 
Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk menebus apapun kesalahanku padamu. 
Perasaan ini terlalu kuat untuk kau bunuh. 
Terlalu kuat, hingga aku membiarkannya berkembang liar dalam diriku. 
Hanya namamu yang mampu ku sebut. 
Hanya namamu. 

Namamu, begitu sering membawaku untuk berkelana menelusuri kenangan. 
Sungguh aku tidak mengerti mengapa kita begitu sulit untuk kembali bersama. 
Apa aku bukan orang yang kau mau? 
Apa aku bukan orang yang pantas bersanding denganmu? 
Apa aku bukan orang yang layak mendapatkan hatimu? 
Apa yang kita punya begitu besar ini tidak mampu menggerakkan perasaanmu? 
Apa yang kita miliki tidak berharga untukmu? 
Apa tidak cukup kita saling menyakiti?
Apa tidak cukup puas kau melihatku begini?
Beribu pertanyaan bersarang di pikiranku. 
Kini, hanya namamu yang mampu ku sebut.
Hanya namamu. 

Ditemani dengan lagu lawas yang sangat ku gilai, berlembar- lembar kertas kusam, dan awan suram. 
Udara mulai dingin, 
Sedingin hatimu,
Sedingin ucapanmu, 
Sedingin tulisanmu, 
Sedingin musim hari itu, 
Kau membenciku ya, aku tersenyum masam, 
Seperti aku yang mulai membenci bulan desember. 
Hanya namamu yang ku sebut,
Hanya namamu. 

-Tertanda
🎶 The Beatles - Yesterday. 

Setiap hujan

Setiap hujan,
aku memikirkanmu,
kau seakan menari- menari di pelupuk mataku,
membuatku terpejam lalu melihat kilasan balik tentang dirimu,
bibir ini melengkung menciptakan senyuman untukmu,
hangat memerah di wajahku,
kau ciptakan hal yang indah pada diriku.

Setiap hujan,
aku merasakanmu,
kau seakan dekat dalam denyut nadiku,
membuatku semakin menginginkan pelukanmu,
tanganmu yang menyentuh setiap inci tubuhku,
bibir ini selalu mendambakan ciumanmu,
darahku mendidih oleh panas sentuhanmu.

Setiap hujan
aku merindukanmu,
kau seakan alunan musik klasik penghantar tidurku,
membuatku hidup dalam mimpiku,
mencumbu bayanganmu,
memeluk erat angan tentangmu,
sudah gila kau buat diriku.

Setiap hujan,
aku menantimu,
kembali ke rumah yang masih menjadi milikmu,
kursi ayunan rotan di teras yang biasa kau duduki denganku menunggumu,
aku menunggumu,
menikmati senja kembali bersamamu,
melihat hamparan laut luas yang kusebut itu dirimu,
atau mendirikan tenda di tepi pantai yang kau inginkan denganku.

Setiap hujan,
aku jatuh cinta padamu.

-Tertanda
kabut tipis dan segelas teh kotak campur susu.

Pesan tak terkirim

Sayang,
Ijinkan aku memanggilmu sayang lagi. 
Sudah lama kita tidak bertemu. Begitu banyak cerita yang ingin ku sampaikan padamu.
Tentu saja, jika kau bersedia bertemu denganku lagi. 
Aku mengikuti kabarmu diluar sana. Kau tetap sehat. dan sepertinya, bahagia. 
Selalu ku doakan yang terbaik untukmu.
Meskipun aku tahu semakin sering mendoakanmu, semakin rasanya aku hancur sedikit demi sedikit. Namun kau salah satu alasanku untuk hidup, sayang. 
Kau alasanku mampu bertahan dalam hidupku yang telah kacau balau selama bertahun- tahun. 
Kau alasanku untuk berharap kembali, untuk yakin kembali, dan berdoa kembali.
Aku akui, hidupku kini tidak jauh beda setelah kau meninggalkanku di musim yang dingin itu. bahkan, lebih berantakan dari yang kau kira.

Mungkin sekarang kau sedang asyik menikmati kehidupan yang baru tanpa diriku. menertawai sikap bodohku yang masih saja mengharapkan dirimu, bagimu aku tak pantas untuk mendapatkan kesempatan kembali.
Kau benar, aku ini gagal. gagal menjagamu. terlalu ceroboh dan terlalu banyak kekurangan. Sudah sepantasnya tidak berani bermimpi tinggi untuk bersama denganmu.
Kau tidak suka perempuan yang gagal memenuhi ekspektasimu, semua harus sesuai dengan kesempurnaanmu. yang gagal lebih baik menyerah. tidak ada gunanya berharap lebih.

Tapi sayangku, aku tidak mudah untuk menyerah. aku ini bersungguh- sungguh ingin memperbaiki apapun itu yang bagimu salah dari diriku.  aku bersedia melakukan apa saja agar kau bahagia denganku. karena aku sudah menetapkan pilihan. dan bertahan dengan pilihan yang aku pilih.
Seperti kata Seno Gumira Ajidarma,

aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku mencintainya.

sekali lagi, kau tertawa membaca ini.
betapa bodohnya aku, katamu.

Kau ini laki-laki yang gemar menciptakan ironi.  kita mampu lebih dari ini, tapi kau sayang, kau tetap menolaknya. kau menyerah untuk dapat menghukumku. supaya senang melihatku sakit, bahkan lebih sakit dari apa yang kau rasakan.
Mengapa harus saling menyakiti, jika mampu saling membahagiakan?.
kau tidak mau tahu itu, kau menyerah.
Kata- katamu yang penuh keangkuhan akhirnya memilih untuk mengunci diri dengan sumpah mengatas namakan Tuhan untuk tidak akan kembali padaku.
Tepat setelah kalimat itu kau ucapkan didepanku, aku menyadari satu hal, sayang...
Selama ini tidak pernah ada aku di masa depanmu.

akhir pesan,
aku mencintaimu.

--Untuk lelaki pecinta sunyi dan secangkir kopi hitam.
                                        --Dari perempuan pecinta senja dan secangkir teh manis.