Permintaan

Detik - detik bersama,
Hari - hari  bersama,
Minggu - minggu bersama,
Bulan - bulan bersama,
dan juga 11 hari yang kita lewatkan bersama,
adalah hal terbaik dalam hidup kita.

Bayangkan apa yang mampu seluruh hidup kita habiskan selanjutnya,
Bayangkan apa yang mampu seluruh hidup kita lakukan selanjutnya,

Kau boleh kemana saja, impianmu, ambisimu.
Tapi, mari pulang bersama.
Kita lanjutkan hal terbaik itu dalam hidup kita.
Ini permintaanku, hiduplah bersamaku.


-ini lamaran ya?

Sepotong Kue Kenangan 4

"Kau lapar?"
kau bertanya padaku sementara tanganmu masih membelai rambutku.
"Kau ingin membuatkan aku sesuatu?"
ku balas dengan tanya.
Kau tersenyum, ah senyum itu...menawan.
Televisi menyala, sebuah film terputar namun kita enggan memperhatikan. Bertahan hanya beberapa menit untuk menonton, selanjutnya bergelut mesra diatas sofa hitam ruang tengah kediaman Tuan Pecinta Susu, kau.

Sebelum pertanyaan itu terucap, tidak ada salah satu dari kita yang ingin berhenti. Saling menggoda, saling menyentuh, dan menikmati ciuman dalam pelukan. Sesekali ada jeda hanya untuk bertatapan, lalu bergumul kembali hingga entah apa yang membuat kita berhenti.

Bangun dari sofa panjang ini, kau mengambil langkah menuju dapur, kemudian membuka kulkas. Awalnya ragu mengambil satu atau dua bungkus daging beku didalam freezer.
"Ada daging kambing, mau satu atau dua bungkus?"
Tanganku terangkat, "Terserah"
"Oke, satu saja"
Sambil menunggu daging itu melunak, kau duduk disampingku, matamu menuju televisi, "Lihat, kita memutar film tapi tidak menontonnya"
"Biasanya juga seperti itu"
Kita tertawa kecil. Ah, tawamu...
Kita mengobrol, obrolan yang cukup panjang. Seputar kuliah, berita, film, musik, artis favoritmu, dan teman yang sama-sama tidak kita sukai.
Begitulah obrolan kita siang itu.

"Biar aku yang membuat, kau duduk saja" katamu.
Kau menyiapkan peralatan masak, menyalakan kompor, membuang bungkus daging tersebut, dan mulai memasak.
Aku tidak diam, aku memelukmu dari belakang. Meski hanya sebentar.
Kau memotong beberapa cabai untuk menambah rasa pedas, lalu di masak bersama. Sedap sekali, batinku.
Kau bilang daging itu kiriman dari ibumu yang berada di kota asalmu.

Sebuah piring persegi panjang berwarna hitam kau sajikan didepanku berisi daging kambing dengan potongan cabai yang baru saja kau masak, siap untuk disantap.
Kita makan berdua.
Duduk diatas kursi hitam.
Ruang tengah.
Televisi yang menyala.
Dua gelas air putih.
Makanan yang lezat.
Kau tersenyum.
Aku tersenyum.
Hanya berdua.

Ingatkan dirimu, Tuan.
Bahagia sesederhana itu.

-Tertanda
Sofa jingga dan kripik singkong.

Keinginan

Aku hanya menginginkan hatimu,
yang kau elukan dengan bahagia saat itu,
yang kau simpan dengan baik saat itu,
yang kau berikan dengan segenap hati saat itu,
yang kau ikatkan dengan ikrar suci saat itu,
yang kau kaitkan dengan erat saat itu,
yang kau nyanyikan dengan tabah saat itu.

Aku ingin kau hanya menginginkan hatiku,
yang aku elukan dengan bahagia sampai sekarang,
yang aku simpan dengan baik sampai sekarang,
yang aku berikan dengan segenap hati sampai sekarang,
yang aku ikatkan dengan ikrar suci sampai sekarang,
yang aku kaitkan dengan erat sampai sekarang,
yang aku nyanyikan dengan tabah sampai sekarang.

Aku hanya menginginkan hatimu,
Aku hanya menginginkan dirimu,
kembali seperti saat itu.
saat kita saling menginginkan untuk bersatu.

-Tertanda
rumah sepi pukul 9 malam


Berharap beruntung

Suara lonceng stasiun terdengar. Kereta ini tiba pada akhir tujuannya. Melaju dengan hati- hati,
masuk dalam peron,
langkahku terhenti,
hati ini nyeri,
disambut terik matahari.
Aku kembali lagi,
kembali setelah dua minggu lalu yang sia- sia. Berharap kali ini beruntung.
Kota ini tetap begini,
tidak ada yang berubah,
tetap menjadi kota yang ribut,
kali ini menjadi kota yang ku benci.

Tetap didalam stasiun,
duduk di kursi panjang,
orang berlalu lalang,
datang dan pergi.
Aku tetap disini,
menanti sesuatu,
menanti keberuntungan.
Layar ponselku mati,
sungguh berharap layar itu menyala lalu mendapati seseorang menghubungi dan membawa pergi.
Waktu berlalu, tidak terjadi apa- apa.
"Siapa yang kau harapkan?" tanya kursi panjang itu,
barusan kursi itu menertawaiku.
Ku jawab "Dia"
sekarang kursi itu semakin tertawa, berlanjut dengan cemohan.
Kursi panjang itu sudah bosan ku duduki terlalu lama.
Segera aku pergi dari stasiun, meminta taksi membawaku ke tempat itu lagi,
seperti malam itu, tengah malam dua minggu yang lalu.
Disinilah aku,
siang menjadi sore,
sore menjelang malam,
langit tertutup awan hitam,
udara tetap panas.

Ku buka layar ponselku,
tidak ada pesan,
tidak ada panggilan.
Percakapan terakhirku dengan dia tetap tidak baik.
Terlalu perih, bagiku.
Mulai aku mengetik kata demi kata,
ku ketik lagi,
ku hapus lagi,
ku ketik lagi,
ku hapus lagi,
persis seperti yang ku lakukan beberapa hari ini.
Dengan ragu, ku ketik namanya, ku tekan tombol kirim.
Tentu saja jantungku berdebar, aku tidak tahu apa yang akan menantiku.
Tak berapa lama, terbalas pesanku.
Lalu aku berkata, "Aku ingin menemuimu, aku rindu padamu"
....
....
....
Dengan tulisan yang sama,
kata- kata yang sama,
keangkuhan yang masih sama,
dia tidak ingin bertemu.
Ku bujuk sekali lagi, dia menawari kesepakatan.
Kesepakatan yang membuatku harus menjauh darinya.
Kesepakatan yang membuatku harus membunuh perasaanku.
Untuk kedua kalinya,
aku kembali lagi,
ke kota yang ku benci ini,
harapanku sia-sia.

Aku bagai gelandangan di kota asing ini. Aku tidak tahu kemana lagi yang ku tuju, hanya dia yang ingin ku tuju.
Sekali lagi aku meminta padanya untuk kembali pulang bersama.
Namun hanya luka yang kudapat.
Butiran air hujan menjatuhiku,
gerimis membasahiku,
sengaja ku biarkan agar tak nampak air mataku.

Aku bagai gelandangan di kota asing ini.
Meski pernah lama tinggal bersamanya berbagi kisah disini, tetap saja kota asing bagiku.
Sepi menjadi teman berjalan,
aku menggigil,
kehangatan tak memanggil.
Kemana akan ku rebahkan tubuh yang lelah ini ?.

-Tertanda
lupa bawa jaket,
butuh minuman hangat.