How many?

"How many suicide does it take for you to realize, the shit you say hurts."

-13 reasons why

Words to You.

Your burning and smoldering dreams,
Your heartless wishes,
I hate them all.

Your hand slipping away from mine,
Your shadows turning away from me,
You are not turning back again,
I will not forgive.

As long as i live.
As long as i live.

-jab tak hai jaan 

Sebuah Ikrar

Sebuah angka adalah simbol yang digunakan pada bilangan untuk menggambarkan nomor pada notasi di sistem bilangan. Diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Begitu yang aku pelajari. Aku mempunyai dua angka favorit. Dari bilangan 1-10 aku menyukai angka 9. Konon angka 9 adalah angka keberuntungan. Mengandung misteri, teka teki, bintang ganda dan memiliki arti kekal. Nomor rumahku saja angka 9. Nomor ponselku juga ada angka 9. Angka favoritku yang kedua adalah angka 30. Mungkin karena tanggal lahirku jatuh pada angka 30. Angka 30 adalah tanda usia seseorang memasuki benar-benar masa dewasanya. 30 juga bagian dari Kitab Bilangan dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, termasuk dalam kumpulan Kitab Taurat yang ditulis oleh Musa, dan Al-Quran yang juga terdiri dari 30 juz.

Angka 30 kini menjadi salah satu kenangan yang tak bisa ku lupakan. Angka itu ada pada nomor apartemenmu, pada kenangan saat hari ulangtahunku, juga tanggal dimana sebuah ikrar yang kita ucapkan pada sore yang diwarnai langit abu-abu, derasnya hujan dan butiran air yang menghiasi kaca jendela ruangan 3x4 berdinding gelap. Tanggal itu adalah hari dimana kita memberikan segalanya untuk bersama. Hari dimana kita berjanji melebihi janji yang pernah kita buat. Hari dimana aku seutuhnya milikmu dan kau seutuhnya milikku. Hari dimana sebuah harapan menjadi satu. Hari dimana benang takdir telah terikat dengan suci. Hari dimana kita lebih dari sepasang kekasih. Hari dimana seluruh hidupku berubah. 

Kau disana dengan sedikit gugup berlagak tegas memintaku untuk menjadi milikmu. Kau bilang ini pertama kali membuat permintaan seperti ini. Dan tentu saja pertama kalinya aku diminta seperti itu. Apa kau melihat wajahku yang terkejut saat tiba-tiba mendengar permintaanmu. Jika saja aku tidak pura-pura bersikap santai, kau akan melihat diriku habis dilahap rasa malu. Rasa senang, gugup dan sedikit takut. Namun setelah beberapa lama, akhirnya ikrar itu terucap. Sebuah akad yang sangat sederhana, sangat biasa, sangat santai, serta sangat tertutup. Kami pun resmi bersatu. 

Perempuan sepertiku menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sangat sakral. Bukan hal yang mudah untuk ku lakukan apalagi dengan berbagai sejarah yang pernah aku alami. Ada ketakutan terbesar yang aku rasakan. Namun saat kau memintaku aku bahkan tidak ragu. Aku juga menginginkanmu seperti kau menginginkanku bahkan mungkin lebih besar dari itu. 
Aku bukan perempuan pengagum sebuah pernikahan yang mewah, indah, dan meriah. Beberapa kali aku berlagak menyukai hal-hal seperti itu. Mencoba seperti perempuan lain yang sangat suka berandai-andai merasakan pernikahan indah untuk sekali seumur hidup. Tapi jika dipikir-pikir itu bukan hal ku inginkan. Bahkan bagiku tidak perlu hal semacam itu untuk benar-benar bersatu. Satu ikrar suci mampu mengikat dua insan untuk dapat hidup bersama. Sederhana itu.Saat itu aku merasakannya. Kita terikat satu sama lain. Tidak ada halangan. Tidak ada keraguan. Tidak ada ketakutan. Kita merasa bebas. 

Ingatkah kau saat kita akhirnya berada di tempat tidur kamarmu, diatas kasur busa tempat biasa kita habiskan banyak waktu berdua. Aku sadar sepersekian detik dan menemukan dua tubuh tak berbusana. Kau memelukku erat memberiku kehangatan disaat hujan masih saja deras mengguyur kota ini. Aku bisa melihatnya dari jendela lebar persegi tepat diatas kepala kita. Bibirmu menyentuh setiap inci tubuhku lalu berakhir di bibirku. Kita menikmatinya. Menikmati alur yang terjadi setelahnya. Tak ada jarak yang melebar. Kita sama-sama terkunci. Kita terlelap dalam kasih yang dalam. Aku harap hujan selalu datang membawa kebahagiaan seperti ini. Bukan membawa banjir yang menjebak kita pada malam hari hingga kau merasakan sakit yang hebat pada kepalamu. Kita pun tertawa saat mengenangnya kembali.

Kembalikan aku pada masa itu. Saat-saat bahagia yang kita ciptakan. Kehangatan yang kita wujudkan. Kepada rindu yang selalu kita elu-elukan. Tawa serta kekonyolan yang sering kita buat. Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Semua kenangan membawa tangis yang begitu deras seperti hujan pada hari itu. Terasa begitu singkat, hingga kita saling menyakiti walau banyak kesempatan untuk dapat menjalin kebersamaan kembali. Kau memilih untuk pergi. Sementara aku memilih untuk tinggal. Terlalu keras kepala untuk meneruskan, terlalu keras kepala untuk meninggalkan. Semua harapan hancur lebur seperti ikrar yang kau putus paksa. Bahkan bagimu akad yang pernah kita lakukan tidak lebih besar daripada sebuah janji yang dulu pertama kali kita buat. Tapi maaf, bagiku akad itu adalah hal yang penting, terlalu besar dan segalanya. 

Aku mengenang tanggal ini. Aku mengenang momen ini. Aku mengenang kita. Aku mengenangmu. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu. 


-Dokumenter tanggal 30 Mei. 

Tengah Malam

Enam jam perjalanan aku habiskan untuk datang ke kota ini lagi. Desember lalu aku meninggalkannya untuk kabur dari hal-hal menyakitkan yang sudah terjadi. Situasi sulit, tidak berujung dan menjebakku hingga saat ini. Kota ini masih sama. Masih ramai. Masih dengan udara yang panas. Masih dengan lalu lintas yang berantakan. Masih dengan kemacetan yang menyebalkan. Masih dengan rasa yang sama. Masih dengan kenangan yang sama. Yang berubah hanya satu, dia.

"Jadi mampir ke rumah?" Suara halus wanita diseberang sana membuyarkan lamunanku di tengah kemacetan. Wanita itu menelepon menanyakan apa aku sudah sampai atau belum.
"Iya tante, ini masih macet" jawabku.
"Ya sudah hati-hati" Suara itu mati.
Ku letakkan ponsel di kursi sebelah. Aku lelah, pikirku. Seharusnya aku beristirahat dulu sebelum berkendara ke kota tetangga. Setelah check in hotel, aku hanya masuk kamar untuk meletakkan tas lalu membersihkan diri. Sore hari adalah jam orang-orang pulang kantor tentu benar-benar akan menghabiskan waktu yang panjang. Butuh sejam aku sampai kesana. Aku membayangkan diriku tidur di atas empuknya kasur hotel. Lumayan besar untuk tidur sendiri. Aku sangat berterimakasih pada saudaraku yang memberikan voucher gratis menginap di hotel ini. Karena tidak mungkin aku mampu merogoh saku untuk membayar kamar mewah ini.

Sore itu sesampai disana, bukan hal yang menyenangkan kembali ke rumah. Rumah kedua kurasa, entahlah aku tidak dapat menamainya rumah tempatku untuk pulang. Dua tahun sudah ku habiskan waktuku disini. Bersama dengan Ayahku yang tidak ku kenal, berserta keluarganya. Bukan hal mudah. Sedikit murka karena aku menghilang dari hampir dua bulan yang lalu. Diceramahi habis-habisan bukan hal yang menyenangkan. Mungkin aku sedikit memperlihatkan wajahku yang menyesal atas tindakanku dan ya sedikit air mata yang ku buat agar mereka percaya. Jujur saja, aku tidak begitu mendengarkan apa ocehannya. Pikiranku melayang ke tempat yang lain. Air mata itu untuk hal yang lain. Aku merindukan dia.

Ku tancapkan gas mobil berkendara dengan kencang. Suara Elvis Presley yang terputar tidak ku hiraukan. Aku sudah meninggalkan kota tetangga kembali menuju kota ini. Awalnya aku berpikir untuk langsung pulang ke hotel tapi tidak. Ada tempat yang ingin ku datangi. Tempat dimana semua kenangan terbuat. Tempat dimana semua pernah ada aku dan dia. Disinilah aku, berputar-putar di jalanan komplek dekat apartemen timur kota ini. Sesekali berhenti, sesekali jalan. Lalu aku berhenti tepat di dekat apartemen yang pernah aku tempati. Ada beberapa yang baru. Ruko di bawah mulai terisi. Jalan sampingnya ditutup mobil-mobil untuk parkir. Jalanan terlihat sepi. Pukul hampir tengah malam, aku diam di dekat apartemennya.

Aku mengirim pesan padanya,

Aku ada di dekat tempatmu, bisa kita bertemu?. 11.53pm

Bukankah sudah ku bilang, aku tidak ingin bertemu. 11.54pm

Aku benar-benar ingin bertemu. 11.54pm

Aku akan bertemu jika rasa yang kau punya untukku sudah hilang. 11.55pm

Aku masih menyayangimu. 11.56pm

Kalau begitu lupakan, aku tidak akan turun dan bertemu denganmu. 11.57pm

Kenapa kau harus seperti ini?. 11.57pm

Dia membalas lagi dengan kata-kata yang dingin seperti biasanya. Untuk sekian kali, kata-kata itu mengancurkanku. Tanganku gemetar. Dadaku terasa sesak.

Tidakkah aku berharga untukmu?. 12.05am

Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan.
Malam itu semua terasa begitu menyakitkan. Kedatanganku sia-sia. Aku menghidupkan mobil melangkah pergi. Tepat setelah kata-kata itu terbaca, aku sungguh merasa tidak pernah ada aku di masa depannya.
Malam itu jalanan sepi. Di perjalanan menuju hotel, aku menangis kencang.


-Taman Angsa, 4 Februari 2017

Potongan Puisi

Dulu,
Aku tak jemu menjilat lidahmu
Biar tajamnya melebihi pedang
Aku tak bosan melumat bibirmu
Biar ocehnya lebih kasar dari si jalang

Dan kini,
Aku mati ditikam bahasamu

-ruangmetafor

Masih Mencari Sebuah Alasan

Aku ingin memiliki berbagai
alasan untuk terus berjalan.
Aku ingin memiliki berbagai
alasan untuk terus hidup.
Tapi aku tak menemukan
satupun alasan.
Jadi, untuk apa hidup?

                                     -sisi pandang Mahya dan penulis.


Mencari Sebuah Alasan

Pernahkah kau mendengar kisah tentang seorang anak laki-laki yang kerap kali mencari sebuah alasan untuk mempertahankan keberadaannya?
Aku pernah membacanya pada buku lusuh yang ku temukan di sudut rak perpustakaan daerah beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku masih kecil, aku tidak mengerti arti dari kisah itu. Atau mungkin sampai sekarang akupun tidak mengerti.
Jika kau tidak pernah, maka aku akan menceritakannya.

Alkisah, seorang anak laki-laki bernama Mahya tinggal di panti asuhan setelah kehilangan orangtuanya. Ibunya wanita separuh timur tengah meninggal karena penyakit, sedangkan Ayahnya bunuh diri setelah istri tercintanya meninggal. Selama dua belas tahun dia diasuh oleh seorang wanita paruh baya yang dipanggil Suster Anna, yang selalu dianggap sebagai pengganti ibunya. Meskipun dia selalu mendambakan sebuah keluarga seperti anak-anak yang datang ke gereja setiap minggu, dia tetap merasa hidupnya lengkap asal Suster Anna selalu bersama. Mahya anak yang ceria, dia suka bermain layang-layang, bermain bola walau hujan, sesekali menjahili anak perempuan hingga menangis, atau memanjat pohon dekat gereja untuk membolos sekolah. Suster Anna memang sangat menyayangi Mahya.
Wanita itu pernah berkata, "sesekali kau mungkin iri dengan mereka, tapi aku akan tetap disini menjagamu, jadi kau tidak perlu iri". Senyuman Mahya selalu membawanya pada kebahagiaan.
Hingga hari dimana Mahya mulai kehilangan senyumnya. Suster Anna terbaring damai dalam kubur. Mahya kehilangan orang yang dia cintai.

Dia memutuskan untuk pergi meninggalkan panti asuhan. Hidup sebatang kara bukanlah hal yang mudah. Berjalan tanpa arah. Berjalan tanpa tujuan, Mahya harus mencari tempat untuk menumpang tidur dan mencari makan. Demi membeli makan dia harus bekerja, kadang dia mencuri, dan kadang dia mengemis. Tidurpun hanya berbantal tangan, beralas koran, dan selimut lusuh yang dia temukan di tumpukan barang bekas.

Namun, seketika hidupnya mulai berubah saat rombongan sirkus menawarinya sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang mudah dengan upah kecil, namun Mahya mendapatkan kehangatan disana. Seperti, seorang pria besar berhidung besar pelempar pisau, menganggap Mahya sebagai anaknya sendiri. Gadis kecil berwajah boneka menganggap Mahya sebagai kakaknya. Pesulap cantik yang baik hati mengajari Mahya bermain sulap. Hal ini mengobati Mahya akan luka kehilangan orang tercinta. Dua tahun berlalu, berkeliling dunia bersama rombongan sirkus yang kini menjadi keluarganya. Tepat di musim dingin akhir tahun, panas api merah melahap habis sirkus mereka. Pria pelempar pisau itu mengorbankan diri melindungi Mahya, mendorongnya keluar dari kobaran api. Tidak tahu menahu mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Hingga api padam, Mahya mencari apapun yang tersisa. Dia tersadar, mereka semua telah tiada. Keluargaya sudah tiada. Dinginnya musim ini membekukan jiwanya. Mahya kehilangan lagi orang yang dia cintai.

Tuhan tidak pernah berada di pihaknya. Berkali-kali dia mengutuk diri sendiri bahwa dirinya tidak pantas untuk dilahirkan. Dia kehilangan segalanya. Ibunya, Ayanya, Suster Anna, Pria Besar, Gadis Boneka, Pesulap Cantik dan seluruh keluarga sirkusnya. Mereka semua pergi. Mahya sendirian.
Dia kembali berjalan tanpa arah. Berjalan tanpa tujuan.
Suatu hari, Mahya terbangun dibawah pohon besar diatas bukit. Tak lama seorang pengemis datang mendekatinya.
Wanita itu bertanya, "Siapa namamu?"
Dia menjawab, "Mahya"
Kemudian wanita itu tersenyum, "Kau tahu apa arti dari namamu?"
Mahya menggeleng tidak tahu.
"Artinya hidup"
Angin berhembus lebih kencang dari biasanya, memberikan jeda cukup lama diantara mereka.
Kemudian wanita itu bertanya lagi, "Jadi kau hidup untuk apa?"
Mahya terdiam. Pertanyaan wanita itu seakan-akan menggerogoti dirinya. Pikirannya sibuk bekerja mencari jawaban. Alasan keberadaanya. Alasan dia tetap bertahan.
Mahya segera berlari meninggalkan pengemis itu menuruni bukit menuju kota. Dia sibuk menanyakan orang satu per satu. Sebuah pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Kau hidup untuk apa?"
Perlukah alasan untuk itu?
Apa arti keberadaannya?
Mengapa dia tetap bertahan setelah semua kehilangan yang dia alami?
Lalu, hidup untuk apa?

Aku tak mengerti lanjutan dari kisah tersebut. Buku yang kubaca tidak sampai tamat. Halaman berikutnya telah tersobek. Mungkin ulah anak-anak yang tidak menghargai sebuah buku. Aku tidak tahu akhir dari kisah Mahya. Apakah dia akhirnya menemukan jawaban?. Apakah dia tetap bergumul didalamnya?. Apakah akhirnya dia memiliki keputusan lain?.

Saat kau terlalu banyak kehilangan, apakah ada alasan lagi untuk hidup?.
Tanda tanya itu belum terjawab. Kemudian aku terlelap.

Puisi Tentang Senja

Aku tak tahan melihat senja.
Ku tutup daun pintu supaya tak
tembus sinarnya.
Saat paling baik adalah berada
di kapal terbang menuju ke timur
atau sedang tertidur di kereta api
sehingga senja lekas terlewati.

Senja mengingatkan aku kepada
perpisahan yang diulur-ulur
dan kepada keraguan antara
kehadiran dan kemusnahan.
Mengapa tidak sekaligus mati
sehingga orang tak sempat
meneteskan air mata.
Aku terus menghindari senja.
Senja yang membawa sedih selalu.

-Subagio Sastrowardoyo

Goresan kata

Salah satu hal yang ku ingat darinya...
saat bibirnya membentuk senyum yang jauh lebih indah dari purnama,
Rasanya ingin ku kecup,
Lalu ku kecap.

-t

Apa Kau Disana?

Apa kau ada disana?
Apa kau ada?

Dengarlah suaraku,
suaraku menggigil memanggil namamu,
nama yang ku tulis dengan pena tak bertinta,
nama yang ku ukir dengan halus dalam nyawa,
nama yang tak bisa ku lupa,
nama yang melekat terbawa ramainya lara,
namamu...
namamu...

Apa kau ada disana?
Apa kau ada disana, menunggu waktu untuk bersama,
atau aku hanya berharap?

-kita sedang berpura-pura bisu.

Tak Hilang Dari Hati

Perpisahan bukan hal yang menyenangkan,
terdapat luka dan kesedihan.
Tangis meraba jiwa.
Harapan hancurlebur tanpa sisa.
Kenangan membekas penuh senyuman, 
menolak untuk dilupakan.
Sesaknya rasa kehilangan. 
Mimpi buruk menjadi tamu.
Hari demi hari menjadi sendu.
Hilangnya dirimu, 
tapi tak hilang dari hatiku.
Cinta ini tetap utuh,
seperti senja pada matamu.

-secangkir teh tarik dan sebuah foto pada layar ponsel.

Jika Saja

Jika saja kau menginginkan senyuman kembali,
maka aku akan tersenyum untukmu dengan senang hati.
Jika saja kau menginginkan tawa kembali,
maka aku akan tertawa bersamamu dengan senang hati.
Jika saja kau menginginkan kehangatan kembali,
maka aku akan peluk tubuhmu dengan senang hati.
Jika saja kau menginginkan hati ini kembali,
maka aku akan berikan kepadamu dengan senang hati.
Jika saja kau menginginkan cerita kita kembali,
maka aku akan buat lebih indah bersamamu dengan senang hati.
Jika saja kau menginginkan aku kembali,
maka aku akan genggam dirimu berjalan bersisian dengan senang hati.
Jika saja kau menginginkan....
Jika saja...
Jika...

-ruang hampa

Siapa yang kau cari?

Ponselku berdering lagi. Sudah sekian kali gadis yang ku anggap sahabat--menyarankan aku untuk ikut kencan buta atau sekedar berkenalan dengan laki-laki asing diluar sana. Saran gadis itu sungguh sudah ku lakukan dalam hampir tiga bulan ini. Kadang aku bertemu dengan laki-laki yang menyukaiku, atau dengan mantan kekasihku dulu, atau juga dengan laki-laki asing lewat virtual ataupun bertemu langsung. Mungkin jika aku seperti aku yang dulu, aku akan segera memilih salah satu di antara mereka untuk menjadi teman main atau ku berikan status kekasih walau tanpa hati tulus seperti yang selalu aku lakukan, hingga kurun waktu yang ku tentukan.

Namun, kali ini tidak. Aku bahkan tidak menginginkannya. Jujur hal itu memuakkan. Seharusnya aku lebih jujur pada diri sendiri. Hidup seperti dulu hanya hidup dalam kebohongan. Berpura-pura menikmati apa yang sudah terjadi. Berjalan begitu saja mencari hal yang semu. Sementara hatiku terlalu rapuh untuk merasa bahagia. Menebar luka untuk menyelamatkan diri sendiri. Membuat jalan cerita agar kisah romansa terlihat indah. Walau sebenarnya aku hanya membuat mereka senang dengan senyum palsu, kata-kata manis yang hanya terucap di bibir, dan hati yang beku. Tapi mereka tidak pernah tahu, mereka terlalu terlena oleh buai rayuan. Mereka terlalu picisan. Sesekali ada yang menyentuh hatiku hingga aku tetap menginginkannya untuk lama tinggal. Ada juga yang ku usir lantaran terlalu menjijikkan. Aku hanya menjalankan permainan, berharap waktu selesai dengan cepat. Karena kehangatan yang aku butuhkan tidak ada pada mereka. Belum ku temukan saat itu. 

Hingga aku bertemu denganmu. Semua di dalam diriku berubah. Tidak, aku tidak akan menjelaskan kembali bagaimana rasanya bersamamu. Kau bagai cahaya sekaligus kegelapan yang tlah memenuhiku. Aku tidak menemukannya pada siapapun laki-laki yang aku temui. Mungkin aku mencari sosokmu disana. Tapi tentu saja kau cuma satu. Dan masih satu-satunya yang aku simpan dalam diriku.
"Siapa yang kau cari?"
"Siapa yang kau inginkan?"
"Siapa yang kau tunggu?"
Suara itu terdengar lagi...

Anganku masih tentangmu. Mimpiku masih tentangmu. Cerminanmu masih sering ku lihat. Kau menjadi kamarku. Tapi kini ku tarik selimut tebal untuk menghangatkan diri dari dinginnya hatimu. Hati ini masih menjadi rumahmu. Masih menanti tuannya untuk pulang. 

"Tidakkah kau sudah mencoba membencinya?"

Aku tidak bisa. 

"Tidakkah kau tersiksa olehnya?"

Aku lebih tersiksa oleh keadaan ini. Aku tersiksa tanpanya. Mungkin ini penebusan dari dosa yang pernah aku lakukan. Dunia penuh kebohongan yang telah ku ciptakan dulu balik menghukumku walaupun saat bersamanya aku sudah jujur pada diri sendiri.  Di saat kita memutuskan untuk hidup dalam hati yang tulus, kita akan kehilangan sesuatu yang sangat dicintai. 

"Jika itu semua terlalu sakit, lalu apa yang kini kau rasakan?"

Rindu.

-separah itu ya?

Setiap momen

Setiap momen yang terjadi,
antara kau dan aku,
Walau hari itu cuaca sedang buruk,
Cuaca sedang baik,
Aku menikmati semuanya,
Aku bahagia.

Kau bilang tidak ada rasa sayang yang abadi,
Kau bilang tidak ada rasa sedih yang abadi,
Tapi bagiku ada,
Nyata,
Terasa,
Rasa sayang ini adalah cinta,
Rasa sedih ini adalah duka,
Ini adalah cinta yang menyedihkan.

-penulis muram.

Tuanku yang tersayang

Tuan, pernahkah kau merasa seluruh dunia sedang melawanmu? Saat kau berharap kakimu untuk berjalan dalam kebaikan namun disandung berkali kali untuk jatuh. Kemudian kau tetap bangkit berjalan walau tubuhmu penuh luka. Mungkin kau akan sembuh dengan cepat atau mungkin perlu berjuang untuk sembuh karena masa penyembuhan terlalu lambat.
Lalu bagaimana rasanya setelah itu? Apa kau baik-baik saja? Apa kau menjadi hambar? 

Tuan, pernahkah kau merasa kehilangan? Sesuatu yang berharga kau genggam dengan baik. Butuh usaha keras untuk menjaga agar tetap utuh, walau kadang kau tercekik, walau kadang kau  berlumuran noda. Kau tetap berusaha, bahkan memeluknya erat agar tak terlepas. Namun, hal yang kau jaga memilih pergi meskipun kau jatuh bangun mencoba meraihnya kembali. 
Kau sudah kehilangan. 
Lalu bagaimana rasanya setelah itu? Apa kau baik-baik saja? Apa kau menjadi hampa? 

Tuan, pernahkah kau berharap akan sesuatu? Berharap untuk mengubah duniamu yang dulu begitu gelap. Berharap sinar akan menjadi bagian dari hidupmu. Berharap masa lalu akan tetap menjadi mimpi buruk yang tlah berubah untuk menciptakan masa depan yang indah. Berharap tidak akan mengulangi kesalahan orang-orang sebelum dirimu. Berharap membuat perbedaan nyata agar kau tak bernasib sama dengan mereka. Namun, yang terjadi kau gagal. Bukan berarti kau tak berjuang, kau sudah berjuang, meskipun pada akhirnya kau melakukan kesalahan yang sebenarnya masih mampu untuk memperbaiki dan meneruskan kembali yang sayangnya harapanmu jadi hilang termakan keangkuhan dan keegoisan oleh sesuatu yang ikut membawa harapan itu. 
Lalu bagaimana rasanya setelah itu? Apa kau baik-baik saja? Apa kau menjadi kosong? 

Tuan, benda yang rusak ini pernah kau jadikan benda yang bernilai bak batu safir yang memancarkan keindahan. Meskipun berkali-kali kau, Tuan, sang pemilik benda ini merawat serta menghancurkan kilaunya, benda ini bagai anjing yang mematuhi perintah Tuannya. Setia menunggu dan mencintai Tuannya. 

Karena benda ini tak punya siapapun sebagai rumahnya. Rumah aslinya sudah hancur tak meninggalkan sisa. Hidup hanya mencari sedikit hiburan melawan balik dunia, demi menghilangkan sepi yang selalu menggerogoti jiwanya. Menjadi gelandangan, mengetuk satu-satu pintu untuk diberi suapan hangat, agar dingin tak selalu merayapi jantungnya. 
Biarpun dicoreng sebelah mata, benda ini tidak peduli. Terang bukan tempat baginya. Gelap adalah teman setianya. 
Tapi kau Tuan, kau membuka pintu terang dengan kehangatan yang luar biasa. Terlalu memikat didalam, terasa aman serta nyaman. Seketika benda ini bernyawa, jiwanya berubah sedikit demi sedikit. Kilaunya tak terhenti.

Tuan, kau adalah rumahnya. Satu-satunya harapan yang dapat merubah seluruh hidupnya. Tanpa kau sadari, kau mengajarkan cinta dan patah hati. Kau ikatkan dengan ikrar, lalu kau putus paksa ikrar itu.

Ingatkah dirimu Tuan? Saat-saat bahagia yang tlah terjadi? Bukankah itu lebih besar dari hal yang sudah menyakitkan? Tapi kau tetap saja menggenggam keangkuhan untuk memilih pergi. Kau bakar kenangan bahagia itu untuk digantikan rasa sakit yang kau kirim padanya. Kenapa Tuan? Tak berharga-kah dirinya untukmu?

Tuan, kau sangat sempurna. Kau dapat memilih siapapun di sampingmu. Terkadang kau penyayang, terkadang kau berubah mengerikan. Kau mudah membuang sesuatu, mudah mendapatkan yang baru.

Tuan, hatimu sudah terlalu dingin. Kau bekukan pula dirinya kembali seperti dulu. Benda ini tlah kehilangan jiwanya. Sadar jika sebuah benda yang rusak akan selalu menjadi benda yang rusak. Semua denganmu kini terasa bagai mimpi indah.
Tuan kau pernah berkata, "bukalah matamu"
Saat mata terbuka, benda ini tak melihat apa-apa.
Dunianya kembali gelap.

-end.

Akhirnya benar tahu

Saat kau tak dapat memungkiri hal yang ada di hatimu,
Saat kau tak mampu menyingkirkan hal yang ada di pikiranmu,
Saat kau tak ingin melepas hal yang menyalakan hidupmu,
Saat kau bertaruh melawan dua rasa bersama,
Kau tahu...
dari awalpun kau tahu...
Cinta selalu menang.

-rindu.

Ok Sayang

"Ketika dua orang yang saling menyayangi tinggal bersama,
lalu terbiasa satu sama lain,
Saat waktu berpisah, kau tidak dapat meninggalkan kebiasaan maupun perasaan itu"

-Ok Jaanu

Peran Sempurna

Langit menghitam saat mataku menatap keluar jendela. Cuaca suram seperti biasa. Sebentar lagi hujan turun. Jalanan sepi, sesekali dua atau tiga kendaraan melintas.
Mataku tak kunjung lelah. Seharusnya aku manfaatkan waktuku untuk istirahat walau aku sudah bosan diatas ranjang selama 5 hari ini. Suhu tubuhku meninggi. Kepalaku seperti tertusuk berkali-kali. Obat yang ku beli sepertinya tak mampu meredakan rasa sakit pada kepala dan demam yang masih berkunjung di malam hari.

Sebenarnya rasa sakit terparah yang aku rasakan ada pada dalam dada dan pikiranku. Tersiksa lebih parah dari sebelumnya. Katakan saja berlebihan, aku tidak peduli. Toh, mereka juga tidak mempedulikanku seperti dirimu yang kini jauh dari jangkauan ragaku.

Coba ku tebak, mungkin kau saat ini sedang bersenang-senang, tertawa bahagia dengan senyum dan keramahan palsumu pada mereka yang mengagumimu. Jika saja mereka tahu. Jika saja mereka melihat wajah asli dirimu yang aku ketahui, di samping sikap lembut bak madu yang mampu menarik siapapun untuk mengikutimu.  Tanpa kau sadari kau bertindak dengan ego yang tinggi, termakan amarah, lalu berperan sebagai korban jika lawanmu melakukan sesuatu yang kau sebut kejahatan. Sungguh manipulatif. Peran yang sempurna untuk seseorang yang selalu ku tinggikan. Seseorang yang selalu ku puja. Seseorang yang selalu ku inginkan. Seseorang yang selalu ku butuhkan. Ironisnya, seseorang yang selalu ku cinta hingga detik ini.

Susah sekali menyingkirkanmu dari pikiranku. Susah sekali membencimu. Pion pada papan caturku mulai kau habisi. Kau tetap bermain hingga aku hancur tanpa secuil kesempatan bagiku untuk membangun harga diri kembali. Bahkan hingga saat ini kau tetap menjadi pemenang. Berpegang teguh pada keangkuhan dan selalu menyalahkanku atas bomerang yang kau ciptakan sendiri. Ikut andil besar dalam kerusakan, tapi tentu saja peran yang sempurna bagi dirimu yang selalu ingin kesempurnaan.

Malam membuka luka. Diusir dari rumah sendiri. Berkelana tanpa tujuan. Kegelapan mulai merasukiku. Mereka bilang, sakit bisa disembuhkan oleh waktu. Tapi aku tidak ingin disembuhkan. Aku ingin merasakan kepedihan yang kau beri berulang kali. Kebahagiaan yang kau taburkan berulang kali. Kenangan manis ataupun pahit. Akan aku genggam bersama untuk mengingat semuanya. Biarpun aku jatuh hingga tersisa hanya seuntai benang tipis aku akan coba meraihnya untuk mencintai dan membenci dirimu. Biarpun aku menggapai bayangan semu, aku akan coba memeluknya untuk mencintai dan membenci dirimu. Karena itu yang akan aku lakukan. Karena itu yang akan dilakukan oleh seseorang yang kosong tanpa harapan.

Lihat itu ditengah gelapnya lorong mimpi buruk, dengan mata yang indah penuh kenangan, kau tertawa nyaring. Terlihat puas melihat sosok diriku yang terbakar kesedihan.

-hujan, petir, dan guntur bercumbu mesra.

Mimpi lagi

Aku bermimpi lagi.
Beberapa bulan ini kerap kali aku bermimpi. Bukan mimpi yang indah. Justru sebaliknya, aku bermimpi cukup buruk. Cukup buruk terbangun dengan air mata, sesak dalam dada, hingga pernah aku berteriak dalam tidur. Jelas ini tidak wajar. Aku mengurungkan niatku menemui terapis. Sahabatku memaksa untuk segera berkonsultasi karena prihatin akan kondisiku sekarang, dia bilang ini lebih buruk dari sebelumnya. Banyak yang bilang aku berbeda. Aku berubah. Bukan perempuan yang mereka kenal lagi. Awalnya mereka berpikir aku mulai menemukan harapan untuk melanjutkan hidup yang lebih baik. Tentu saja, mereka senang dengan perubahanku. Setelah bertahun-tahun sifat kerasku melunak, senyumku lebih tulus, diriku menghangat, dan mulai mengkondisikan diri sebagai seseorang yang benar-benar perempuan. Tidak lama mereka melihatku murung, diriku bak vas yang mudah pecah, terlalu rapuh katanya, hidupku dirundung duka kembali bahkan lebih buruk, harapanku hilang. Sinar itu redup kembali, sama seperti masa yang lalu. 20 tahun yang tidak banyak hal baik yang mampu ku ingat. Karena yang terekam hanya hal yang pahit. Tidak ada hal yang baik. Tidak ada yang normal dalam hidupku. Hidup hanya berjalan sia-sia tak bermakna. Tidak ada yang bisa kurasakan. Benda rusak tetap akan menjadi rusak. Aku hanya sebuah wadah yang kosong.

Aku bermimpi lagi.
Pernah aku bermimpi indah. Laki-laki itu membawa hal yang tidak kuduga. Membawa harapan masuk dan mengubah segalanya. Aku merasa lebih hidup. Pertama kali dalam hidupku aku merasa akan baik-baik saja. Rasa aman dan bahagia. Aku yakin masa burukku berakhir.
Namun sayang sekali, itu hanya semu. Keberadaannya tak berlangsung lama. Harapan itu hilang. Semua yang ku yakini hancur. Yang tersisa hanya kenangan, luka yang membiru dan serpihan  hati yang berdebu. Laki-laki itu pernah berkata padaku untuk tahu diri. Dia benar. Karena benda rusak akan selalu menjadi benda rusak.

Aku bermimpi lagi.
Aku lelah dengan mimpi buruk itu. Semalam aku tidak bisa tidur. Mataku terlalu takut untuk terlelap. Semakin lama malam menyiksaku. Aku hanya berjalan seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Hanya kali ini lebih buruk. Mungkin sebaiknya aku menemui terapis. Tapi untuk apa?. Aku sudah tidak ingin percaya pada hidup lagi. Berulang kali hidup melawan diri sendiri. Dunia seakan tempat yang bukan lagi milikku. Manusia hanya makhluk pecinta ilusi. Isi jiwa manusia hanya kegelapan. Makhluk yang mudah tamak dan mudah jatuh dalam khayalan semu.
Aku hanya berharap semua ini segera berakhir.

"Terlalu putus asa" suara itu muncul kembali.
"Apa sebegitu cintanya dirimu padanya hingga kau membenci dirimu sendiri?" suara itu semakin terdengar.
Hanya dengan membenci diriku aku dapat membencinya. Karena dia adalah cermin bagiku. Ketika dia pergi, maka separuh diriku pergi. Benar, aku sangat mencintainya. Hingga aku tak sanggup melihat diriku sendiri. Aku akan mulai membencinya, itu hal yang dia inginkan. Aku akan berusaha menggenggam dua hal itu bersama.
Mari kita bertaruh, wahai suara dalam diriku, mana yang lebih unggul, cinta atau benci?

Aku bermimpi lagi,
aku menunggu di tepi pantai dengan hamparan laut yang menghitam, udara dingin, dan senja yang semakin pilu

-penulis pipinya lagi bengkak.

Cinta atau Benci?

Cinta dan benci hanya terpisah dinding tipis yang mudah hancur. 
Aku akan berusaha menggenggam dua hal ini bersama.
Mari kita bertaruh, wahai suara dalam diriku, mana yang lebih unggul, cinta atau benci?

-t

Banyak Pertanyaan

Tak bisakah kau melihatku lagi?
Tak bisakah kau menatapku lagi?
Tak bisakah kau memanggil namaku lagi? 
Tak bisakah kau tertawa denganku lagi?
Tak bisakah kau berbagi waktu denganku lagi? 
Tak bisakah kau menggenggam tanganku lagi?
Tak bisakah kau memelukku lagi? 
Tak bisakah kau menciumku lagi?
Seperti dulu, kembali seperti dulu..
Tidakkah pernah ku katakan padamu jika aku tidak akan pernah pergi dari sisimu? 
Tidakkah pernah ku katakan padamu jika aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu? 
Tidakkah kau ingat? 
Tidakkah kau merasakan hal yang sudah kita buat? 
Tidakkah itu berarti bagimu? 
Atau hanya aku saja yang berpikir demikian? 

-ngantuk.

Menjadi jadi

Senyumku sirna bersama dengan sirnanya lembut suaramu,
Tawaku redup bersama dengan redupnya tatapmu,
Ragaku lepas bersama dengan lepasnya hangat pelukmu,
Hatiku dingin bersama dengan dinginnya sikapmu,
Lagi-lagi merindukan kamu,
Kapan aku lelah menanti kamu,
Sepi menjadi-jadi,
Temanku hanya tangis dan kenangan,
Sedang kau terbalut kesenangan,
Sebaliknya aku terbalut derita.

-lupa tidur

Tanggal 30 Setahun yang lalu

Malam itu hujan mengguyur kota Surabaya, membasahi kaca jendela mobil kecilku yang melaju pelan di komplek sekitar apartemen di sudut kota. Tanggal 30 hari itu tepat hari aku dilahirkan 21 tahun yang lalu. Waktu berjalan begitu cepat, menjadi perempuan dewasa bukanlah hal yang mudah. Kadang aku menginginkan diriku yang masih kecil, kembali dimana hidup begitu terasa mudah tanpa ada beban masalah yang selalu senantiasa hadir di depan kita. Walau aku tahu hanya sedikit kenangan baik dari masa kecilku. Setidaknya begitulah anak kecil. Kita hanya perlu bermain, tak perlu memikirkan masa depan.
Malam itu tidak ku sangka dia menemaniku. Kami hanya berada di dalam mobil menghabiskan bensin, menghabiskan waktu, mengobrol panjang lebar tentang apapun topiknya, mendengarkan musik bersama, berkeliling kota dan menikmati hujan. 
Jika saja dia tahu jantungku berdebar tak karuan, berusaha menyembunyikan rasa senang dan senyum karena dia berada di sampingku. Itu adalah kado untukku. 
Sudah pasti dia mengetahui betul perasaanku. Karena, saat itu kita hanya sebatas teman.
Hujan turun begitu deras. Jika saja saat itu kami sudah menjadi sepasang kekasih, tentu saja kami akan lebih menikmati hujan dengan peluk dan cium hingga hujan lelah melihat kami lalu berhenti. 
Terputar lagu Payung Teduh menjadi soundtrack kami malam itu,

"Malam jadi saksinya
kita berdua diantara kata 
yang tak terucap
berharap waktu membawa keberanian
untuk datang membawa jawaban"

Lagi-lagi aku meliriknya, mencoba mencari mata indah lelaki itu. Mencari celah adakah aku yang dia lihat disana. Karena aku tak bisa membaca dirinya. 

"Mungkinkah kita ada kesempatan,
ucapkan janji takkan berpisah selamanya"

Malam itu senyumku mengembang. 
Berharap waktu akan selalu menjadi milik kita
Berharap mata seindah senja itu akan selalu menatap diriku.  
Berharap "kau dan aku" akan menjadi kita.

Rindu sekali aku padanya. Kenangan setahun yang lalu kini melekat bagaikan tato pada tubuhku. Aku membuka pesan ucapan selamat yang dia kirimkan dulu pada ponselku. Seketika dadaku bergemuruh, perasaan hangat dan nyeri datang bersama.
Hari ini tanggal 30 setahun yang lalu, hatinya mulai menghangat.
Hari ini tanggal 30, hatinya tlah dingin.
Hari ini dia tiada menemani.
Hari ini aku mengenang kembali.
Hari ini aku sendiri.
Hari ini aku tetap mencintainya.  

-Selamat ulangtahun perempuan pecinta senja dan secangkir teh manis. 

Kemeja Hitam dan Biru

Hari masih gelap, aku terbangun mendapati diri diatas ranjang terbalut selimut.
Penglihatan terbatas, hanya ada sedikit cahaya dari luar kaca jendela yang tertutup tirai. 
Ku raba sekitarku berharap menemukan ponsel untuk melihat waktu. 
Yep, dugaanku benar, waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. 
Di sampingku, seorang laki-laki tertidur pulas menghadap diriku. 
Aku rasa dia kelelahan setelah semalaman menghabiskan waktu denganku di tempat ini. 
Kami berantakan tanpa busana. Dan aku kedinginan.
Ku raba lagi sekitarku, kali ini berharap menemukan pakaian yang dapat ku kenakan. 
Aku mengambil salah satu yang ku rasa itu kemeja. Sudah dapat ditebak itu kemeja siapa, aku segera mengenakannya berharap laki-laki itu tidak menemukanku telanjang saat dia bangun nanti bukan saatnya melihatku seperti ini lagi. 
Aku kembali berbaring, memberikan kecupan pada kening dan pipi laki-laki itu, lalu memeluknya.
Tak lama dia membalas pelukanku, kemudian terlelap.

"Kapan kau memakai pakaian?" tanyanya setelah kami terbangun tepat di siang hari.
"Tadi, kenapa? kau tidak suka aku memakai pakaianmu?" 
Dia tersenyum, "tentu saja aku suka, kemeja hitam itu terlihat bagus, apalagi kau tidak mengenakan apapun dibaliknya" 
Aku melihat lelaki itu tersenyum nakal, "kau tau ini masih jam berapa bukan?"
Dia tertawa, "iya aku tau, seharusnya kau yang tidak menggodaku"
Aku memutar kedua bola mataku
"apa yang akan kita makan nanti?" tanyaku
"kau ingin apa?"
"jangan balik bertanya" ujarku
"baiklah, terserah kau saja"
"serius terserah aku? baiklah, bagaimana jika kita makan ayam goreng?"
dia mengerling, "hmm, yang lain?"
"nasi goreng?"
"tidak"
"sate kambing?"
"uang kita menipis"
"ayam geprek?"
"tidak"
"lalu kau mau apa? sudah ku bilang kau ini pemilih, lebih baik kau saja yang memutuskan. Dasar kau seperti perempuan"
Dia kembali tertawa. "baiklah, kita makan di depot langgananku saja ya? kita bikin nasi sendiri, kita beli lauk saja, makan disini"
"nah, begitu dong"
"kemarilah, peluk aku" dia membuka kedua tangannya
aku memeluknya, "kenapa?"
"tidak apa-apa, aku suka memelukmu"
"aku-pun begitu"
Aku bisa merasakan debaran jantungnya tepat pada dadaku, aku menyentuhnya.
"kenapa berdebar begitu?" tanyaku menggoda
"ah, memang seperti ini kok jantungku"
"masa?"
"bawel ah"

Pukul setengah lima sore, kami bersiap pergi.
"dimana bajuku?" tanyanya
"pakai saja kemeja kemarin itu, yang warna biru"
"kan terakhir kau yang pakai, kau letakkan dimana?"
"gantungan belakang pintu kamarmu"
"kau lebih bagus mengenakan kemeja hitam itu daripada kemeja biru ini, terlalu besar untukmu"
"iya aku tau" aku mengecup pipi kanannya
"aku pikir kau akan mencium bibirku"
"nanti ya"
"baiklah, ayo berangkat tunggu diluar ya aku ambil mobil"
aku membuka pintu lalu melambaikan tanganku.

jadi, bagaimana kabar kedua kemeja itu?

-gabut. 

Sepotong Kue Kenangan 5

Pukul satu siang kelas hari rabu, dimana kursi paling belakang diduduki kau dan aku. Aku ingat kau mengenakan kemeja denim biru muda berlengan pendek. Kau nampak bosan memperhatikan dosen yang menerangkan topik kuliah hari ini, berharap kelas segera berakhir. Beberapa kali melihat jam di tangan kananmu, sebentar membuka ponsel dari saku celanamu, kemudian kau masukkan kembali, sesekali menghembuskan nafas dari mulutmu.

Tentu saja, aku memperhatikanmu dari tadi, melirik diam-diam ke arahmu yang duduk tepat disampingku. Kepala kita bersandar pada tembok, mencari kenyamanan untuk duduk manis selama kelas ini berlangsung. Saat itu kita sudah mulai dekat, walau hanya kau yang mengetahui dengan pasti bahwa aku menyukaimu.Berjumpa denganmu seperti membawa bom waktu yang akan meledak, lalu ku simpan dalam jantung hingga saat mata kita bertemu bom itu meledak menciptakan debaran.
Aku suka duduk disampingmu, senyumku tak kunjung hilang.

Benda kecil berbentuk persegi panjang dengan layar 3,01 inci ku keluarkan dari tasku, disambungkan dengan kabel earphone putih, lalu ku pasang di kedua telingaku. Benda kecil itu berisi playlist lagu favoritku dari berbagai genre musik. Ku putar sebuah lagu jazz klasik yang tidak lama memunculkan ide dalam pikiran, aku ingin membaginya denganmu.

Ku lepas earphone sebelah kiri menawarkannya padamu, "mau ikut mendengar?"
Tanpa banyak berpikir, kau langsung memasangnya di telingamu.
Ditengah beberapa suara yang terdengar, diantara kebisuan waktu, dalam alunan musik kita berbagi, menikmati bersama, memecah jemu.

Hingga sekarang benda itu menemaniku, mengingatkan aku akan kenangan ini. Ku rasakan dirimu ikut mendengar dan menyanyikan lagu-lagu kita.
Aku tersenyum dalam buaian rindu.

Tidakkah semua itu menyenangkan, sayang.
Sederhana itu.

-Tertanda
pesan yang lama terbalas dan beberapa pertanyaan yang tak kunjung dijawab.

Tubuhmu Hangat, Hatimu Dingin

Kau simpan kenangan manis di pikiranmu,
Kau hapus rasa dari hatimu,
Kau bawa langit biru di tangan kananmu,
Kau bawa awan gelap di tangan kirimu,
Sungguh sepi ini mengutukku,
Diam-mu menghardikku,
Sikap acuh-mu mencekikku,
Tubuhmu hangat, hatimu dingin.

Ku peluk kenangan,
serta mengumpulkan sisa-sisa harga diri yang tlah kau hancurkan.

-Tertanda
aku yang lupa rasanya bermimpi indah.





Parasit ?

Aku mencarimu kemana-mana
kau melangkah menjauh seiring langkahku yang terlambat mengejarmu
membawa separuh diriku juga hati yang ku titipkan padamu untuk selalu kau peluk
namun aku tetap mencarimu kemana-mana
mesikipun kau selalu abadi dalam ingatan

Mendekapmu, kini begitu sulit dari yang ku bayangkan 
mataku terhiasi abu orang-orang putus asa akan hidupnya yang malang
tersesat di padang ilalang
lupa jalan pulang
jiwanya mulai hilang 
yang ditunggu hanya waktu untuk berakhir lebih cepat
karena hati tetap memilih untuk bertahan

Mulai aku cemburu, 
cemburu terhadap angin yang menerpa wajahmu 
cemburu terhadap air yang mengguyur tubuhmu
cemburu terhadap pakaian yang melekat padamu
cemburu terhadap kalung yang menggantung di lehermu
cemburu terhadap orang orang di sekitarmu, mereka melihatmu, mendapat senyum ramah darimu,mendengar suaramu yang lembut walau kadang menggertak dan berkata sinis, pasti menyenangkan sekali
cemburu terhadap siapapun gadis yang mungkin kini dekat denganmu
dan aku cemburu terhadap kita yang dulu

Entah, sejak kapan aku mulai menjadi penggemar masa lalu
hidup di masa kini, dan sejuta kenangan dari masa lalu
hal yang tak mampu ku lupakan dan ku akhiri
rasa yang tetap ku pelihara 
rindu
kasih sayang
cinta
benci 
penyesalan
dan aku hanya duduk sendiri menanti senja yang semakin pilu
menikmati malam tanpamu dengan secangkir pahit manisnya rasa
persis seperti kopi yang menjauhkan aku dari mimpi
hingga aku menyerah membiarkan diriku masuk ke dalam sepi
karena hati menginginkan apa yang ia inginkan, bukan?

kau mulai berubah
tak lagi sama
aku tak punya arah
kau satu-satunya harapanku, namun bagimu aku hanyalah parasit yang mengganggu hidupmu
kini kau mulai menemukan kopimu 
sedangkan aku, 
aku hanyalah sisa ampas kopi yang kau tinggalkan

Ingat segala harapan yang kita ikat

"Jangan berpaling dan membuat kita menjadi dua orang asing.
Di hamparan bumi ini ada banyak sekali orang yang bisa merebutmu, juga mencuri perhatianku.
Namun, aku ingin tetap kamu dan aku saja yang menjadi kita.
Aku ingin kamu saja yang menemaniku membuka pagi hingga melepas senja, menenangkan malam dan membagi cerita. Tetaplah menjadi seseorang yang membuatku merasa kuat.
Jangan biarkan hatimu lepas dari segala harapan yang kita ikat. "

-origami hati

Mana yang tidak

Patah hati mana yang tidak luka?
Luka hati mana yang tidak sakit?
Sakit hati mana yang tidak perih?
Perih hati mana yang tidak lara?
Lara hati mana yang tidak hancur?

Sesekali kau memberi racun,
Sesekali kau mengobati,

Namun hati tetap menginginkan apa yang ia mau,
Ironisnya, sampai detik ini ada hal di dalam hati yang bergemuruh tanpa henti
Lalu menyadari bahwa kau masih memelihara rindu dan cinta padanya..

Entah sedang apa

Entah, kau ini sedang apa
Entah, aku ini sedang apa

Kau ini sedang memberi atau membuat ku memberi?
Aku ini sedang menerima atau dibuat menerima?
Kau ini sedang membenci atau membuat ku membenci?
Aku ini sedang mengasihi atau membuat mu mengasihi?
Kau ini sedang berbuat baik atau pura-pura baik?
Aku ini sedang acuh atau pura-pura acuh?
Kau ini sedang membatu atau membuat ku ikut membatu?
Aku ini sedang buta atau pura-pura buta?

Ah sudahlah, sulit menerka isi hati dan pikiranmu
Toh, mimpi buruk tetap berlanjut

-pagi abu-abu dan ampas kopi

Berjalan melangkah

Aku berjalan melangkah untuk menghabiskan waktu,
membuang hari,
membuang pekan,
membuang bulan,
membuang tahun,
berjalan tanpa henti.
Sesekali mampir untuk menyapa senyum,
sesekali mampir untuk memeluk tawa,
sesekali mampir untuk mencium rasa yang belum bisa dikatakan 'bahagia',
lalu berjalan lagi tanpa henti,
menelusuri risau,
gundah,
amarah,
sedih
tangis,
sepi,
sesak,
sendu,
berjalan melangkah tanpa arah,
menciptakan kekosongan dalam dada.

Hingga datang sebuah harapan,
harapan untuk menemani perjalanan,
berjalan melangkah dengan keyakinan,
sesuatu yang indah,
menghabiskan waktu,
hari,
pekan,
bulan,
tahun,
tidak sia-sia,
semua bermakna, penuh warna.
Tidak ada sekali,
namun berkali-kali,
bertamu senyum,
dipeluk hangat tawa,
dicium mesra rasa bahagia,
semua itu nyata, sangat nyata,
berjalan melangkah dengan arah,
dadaku terasa penuh.

Dibangunkan secara paksa oleh kegagalan,
harapan menjadi hitam,
langit selalu kelabu,
udara beraroma kematian,
musik ikut berkabung,
semua terasa muram,
ditiduri rasa sakit.
Hati masih menyimpan rasa,
rindu terpelihara,
berjalan melangkah tanpa henti,
berjalan melangkah tanpa arah,
menciptakan kekosongan dalam dada.

Lalu aku sadar, aku hanya melanjutkan apa yang pernah tertunda.

-dengan senyum yang menyeramkan, kegelapan itu berkata,
"selamat datang kembali"

Merasakan tidak pernah salah

Mendekatlah, karena diri ini masih ada.
Menarilah, karena tubuh ini masih siap berdansa. 
Memeluklah, karena pelukan ini masih terbuka. 
Menciumlah, karena bibir ini masih bersedia.
Merindulah, karena hati ini masih sama. 

Suaramu mengoyak tubuh,
Hati sudah luluh, 
Kerap kali meronta merindu,
Rindu,
Rindu, 
Rindu,
Terlalu sendu, 
Banyak di-adu,
Butuh dipandu,
Wahai,kau yang semanis madu.
Kini hatimu kian membeku, 
Namun senja tak pernah berkhianat,
Senja tetap hangat,
Sehangat pelukan malam-malam itu.


Waktu dapat berubah, Hati akan tetap ada

"Setiap cinta punya waktu,
Dan waktu bukanlah milik kita.
Namun, bukan berarti itu bukanlah cinta.
Jika Tuhan bisa tunduk dihadapan cinta, maka waktu tidak akan punya kesempatan.
Waktu pasti berubah.
Aku percaya pada cintaku"

-Jab Tak Hai Jaan

Apa kau benci?

"Apa kau membencinya?"

Tidak aku tidak bisa.
Walau dirinya bagai ular berbisa.
Merenggut asa.
Tapi tetap ada rasa.

"Apa kau membencinya?"

Dihancurkan hidupku.
Rusak jiwaku.
Hilang akalku.
Diriku tercoreng pilu.

"Apa kau membencinya?"

Aku bilang akan pergi.
Untuk dia, bukan aku.
Tetap dia rela untuk aku pergi.
Tidak kembali.
Karena dia, tidak pernah ingin aku kembali.

"Apa kau membencinya?"

Brengsek.
Aku terlalu mencintainya.


Hari ku digerus

Tak ada yang bisa ku hapus,
Pikiran tak lagi fokus,
Walau raga mulai hangus,
Sudah ku habiskan berbagai jurus,
Tapi cinta tak kunjung pupus,
Sudahlah, hati ini tak pernah mampus.

-Selimut biru
1.00am


Bahagia Semu

Jangan bersedih, cantik.
Kau ingat aku bukan?
Kejam sekali jika kau tidak mengingatku.
Aku yang selalu menemani dirimu.
Aku yang selalu memberimu kekuatan.
Aku yang selalu membuatmu semakin hidup.
Aku yang selalu memberikan kesenangan untukmu, hanya untukmu.
Aku adalah dirimu, dirimu yang lain.
Sisi gelapmu, mimpi burukmu.

Setahun terakhir ini kau pergi meninggalkanku.
Tanpa sepatah kata, tanpa penjelasan, kau membuangku.
Tapi aku tetap setia berada disisimu. Bersembunyi di balik bayang-bayang. Sesekali, aku muncul saat kau mulai kehilangan akal sehatmu. Seiring hatimu yang dulu membatu kini kian mencair.
Semua ini terjadi saat kau mulai percaya, kau mulai yakin pada sesuatu yang dulu kau tidak pernah menganggapnya ada. Hingga akhirnya, kau mempunyai harapan itu.
Naif. Kau terlalu naïf.

Sebelumnya kau tidak pernah percaya terhadap romansa.
Hatimu membatu.
Sungguh, kau cantik saat dingin.
Mereka semua menginginkanmu, ingin menjadi dirimu.
Kau lebih mempercayai logika, daripada perasaan yang kau anggap bodoh.
Kau hanya bersenang-senang. Melihat semua laki-laki hanya sebatas teman bermain.
Tidak ada cinta, tidak ada kasih sayang, semua itu hanya sandiwara.
Bukankah aku ini tercipta saat kau membuang hal yang tidak masuk akal.
Bukankah kau melihatnya, melihat kegagalan yang berulang kali terjadi di depan matamu.
Sekelilingmu yang mengajarkan untuk tidak percaya.
Dan aku sudah memperingatkanmu untuk tidak percaya, apalagi pada dia, laki-laki yang kau cintai katamu.

Jangan jatuh cinta. Itu peringatanku.
Tapi, kau tidak mendengarnya. Kau memilihnya. Kau jatuh cinta padanya. Hatimu kian mencair. 
Kau mulai percaya, kau mulai yakin, dan berharap akan berhasil tidak seperti orang-orang itu. Orang-orang yang memperlihatkanmu kegagalan.
Kau ingin belajar memasak.
Kau menginginkan hidup bersamanya.
Kau mencari jalan untuk tetap dekat dengannya saat kau berkarir nanti.
Kau berharap membangun keluarga bahagia.
Kau menginginkan sebuah pernikahan yang sederhana.
Kau menginginkan seorang anak kecil.
Kau bahkan pernah bermimpi sedang bersama dengan dia dengan seorang anak kecil yang sedang kau kejar di pantai. Penuh dengan gelak tawa, hidup kalian begitu bahagia.
Kau yakin tidak ada kegagalan.
Hatimu tulus menerima segala kekurangan yang ada padanya.
Kau bahkan, bersedia berubah untuk dia.
Lalu, apa yang kau dapat?
Hanya karena kesalahan yang kau buat.
Dia meninggalkanmu.
Dia sudah membuang perasaannya.
Dia tidak bisa menerimamu kembali. Dia tidak menginginkanmu kembali.
Dia keras terhadapmu. Berkata kasar.
Dia bahkan merendahkanmu dengan kata-kata yang sesungguhnya tidak pantas diucapkan.
Dia selalu menyalahkan dirimu. Membuatmu kehilangan akal, hingga membenci dirimu sendiri.
Dia telah menolak untuk hidup bersama denganmu.
Dia kini melihatmu hanya sebagai objek. 
Dia menghancurkanmu.
Apa pantas kau diperlakukan seperti itu?.
Apa kau pikir dia menginginkan hal yang sama sepertimu?.
Apa kau pikir kau dan dia dapat bersatu hingga maut memisahkan?.

Kau membuatku tertawa, sayang.

Lihat dirimu sekarang, kau seperti gadis bodoh.
Kau tidak merawat dirimu sendiri.
Kau melupakan kehidupan.
Kau kehilangan segalanya.
Kau kerap kali ingin mengakhiri hidupmu.
Tidak punya ambisi.
Tidak tersenyum.
Tidak bahagia.
Tapi, kau tidak kehilangan aku.
Masih ada aku yang tetap bertahan denganmu.

Sudah pernah ku bilangkan, beberapa tahun yang lalu.
Saat kau masih berumur 12 tahun. Saat pertama kali dalam hidupmu menginginkan kematian. 
Aku sudah mengatakan untuk tetap bertahan hidup.
Karena kau, adalah harta terbesar. Kau sangat berharga.
Jangan pernah percaya.
Jangan pernah untuk jatuh cinta.
Tidak ada cinta.
Tidak ada pernikahan.
Tidak ada anak.
Tidak ada keluarga.
Pernikahan hanya untuk orang yang bodoh.
Jika orang lain tidak bisa menghargaimu, maka hargai dirimu sendiri.
Kau berhak bahagia.
Kau mendengarku begitu mudah dulu, tidak seperti sekarang.
  
Apa kau lupa? Kau tidak terlahir seperti gadis lainnya. Kau bukan gadis yang suka bermimpi tolol.
Semua laki-laki tidak pernah melihatmu secara utuh. Mereka tidak mencintaimu. Mereka hanya menginginkanmu untuk sesaat. 
Dulu kau melakukan hal yang sama seperti mereka.
Lucu sekali sekarang kau menginginkan sebuah keluarga. Kau bahkan tidak memilikinya.
Kau tidak bisa menjadi seorang ibu yang baik. Kau tidak mampu membangun harapan menjadi kenyataan.
Itu semua hanya khayalan, cantik.
Itu semua semu.
Kau sangat mengerti jelas tentang itu.
Kau sudah tertipu.
  
Tetaplah seperti dulu, gadisku yang cantik.
Biarkan hatimu membatu.
Biarkan hatimu dingin dan membeku.
Kau tetap berpegang teguh dengan logika.
Kau pemegang kendali, kau tidak dikendalikan.
Tidak pernah ada akhir bahagia.
Lupakan harapan,
Lupakan keyakinan,
Lupakan hal yang kau inginkan.
Karena itu tidak akan pernah terjadi.

Dari aku sisi lain dirimu yang mencintaimu.

Goresan tinta

"Sepasang mata yang mengajarkanku tentang cinta,
juga mengajarkanku bila aku tidak pernah cukup pantas dicintai kembali"

-t

Permintaan

Detik - detik bersama,
Hari - hari  bersama,
Minggu - minggu bersama,
Bulan - bulan bersama,
dan juga 11 hari yang kita lewatkan bersama,
adalah hal terbaik dalam hidup kita.

Bayangkan apa yang mampu seluruh hidup kita habiskan selanjutnya,
Bayangkan apa yang mampu seluruh hidup kita lakukan selanjutnya,

Kau boleh kemana saja, impianmu, ambisimu.
Tapi, mari pulang bersama.
Kita lanjutkan hal terbaik itu dalam hidup kita.
Ini permintaanku, hiduplah bersamaku.


-ini lamaran ya?

Sepotong Kue Kenangan 4

"Kau lapar?"
kau bertanya padaku sementara tanganmu masih membelai rambutku.
"Kau ingin membuatkan aku sesuatu?"
ku balas dengan tanya.
Kau tersenyum, ah senyum itu...menawan.
Televisi menyala, sebuah film terputar namun kita enggan memperhatikan. Bertahan hanya beberapa menit untuk menonton, selanjutnya bergelut mesra diatas sofa hitam ruang tengah kediaman Tuan Pecinta Susu, kau.

Sebelum pertanyaan itu terucap, tidak ada salah satu dari kita yang ingin berhenti. Saling menggoda, saling menyentuh, dan menikmati ciuman dalam pelukan. Sesekali ada jeda hanya untuk bertatapan, lalu bergumul kembali hingga entah apa yang membuat kita berhenti.

Bangun dari sofa panjang ini, kau mengambil langkah menuju dapur, kemudian membuka kulkas. Awalnya ragu mengambil satu atau dua bungkus daging beku didalam freezer.
"Ada daging kambing, mau satu atau dua bungkus?"
Tanganku terangkat, "Terserah"
"Oke, satu saja"
Sambil menunggu daging itu melunak, kau duduk disampingku, matamu menuju televisi, "Lihat, kita memutar film tapi tidak menontonnya"
"Biasanya juga seperti itu"
Kita tertawa kecil. Ah, tawamu...
Kita mengobrol, obrolan yang cukup panjang. Seputar kuliah, berita, film, musik, artis favoritmu, dan teman yang sama-sama tidak kita sukai.
Begitulah obrolan kita siang itu.

"Biar aku yang membuat, kau duduk saja" katamu.
Kau menyiapkan peralatan masak, menyalakan kompor, membuang bungkus daging tersebut, dan mulai memasak.
Aku tidak diam, aku memelukmu dari belakang. Meski hanya sebentar.
Kau memotong beberapa cabai untuk menambah rasa pedas, lalu di masak bersama. Sedap sekali, batinku.
Kau bilang daging itu kiriman dari ibumu yang berada di kota asalmu.

Sebuah piring persegi panjang berwarna hitam kau sajikan didepanku berisi daging kambing dengan potongan cabai yang baru saja kau masak, siap untuk disantap.
Kita makan berdua.
Duduk diatas kursi hitam.
Ruang tengah.
Televisi yang menyala.
Dua gelas air putih.
Makanan yang lezat.
Kau tersenyum.
Aku tersenyum.
Hanya berdua.

Ingatkan dirimu, Tuan.
Bahagia sesederhana itu.

-Tertanda
Sofa jingga dan kripik singkong.

Keinginan

Aku hanya menginginkan hatimu,
yang kau elukan dengan bahagia saat itu,
yang kau simpan dengan baik saat itu,
yang kau berikan dengan segenap hati saat itu,
yang kau ikatkan dengan ikrar suci saat itu,
yang kau kaitkan dengan erat saat itu,
yang kau nyanyikan dengan tabah saat itu.

Aku ingin kau hanya menginginkan hatiku,
yang aku elukan dengan bahagia sampai sekarang,
yang aku simpan dengan baik sampai sekarang,
yang aku berikan dengan segenap hati sampai sekarang,
yang aku ikatkan dengan ikrar suci sampai sekarang,
yang aku kaitkan dengan erat sampai sekarang,
yang aku nyanyikan dengan tabah sampai sekarang.

Aku hanya menginginkan hatimu,
Aku hanya menginginkan dirimu,
kembali seperti saat itu.
saat kita saling menginginkan untuk bersatu.

-Tertanda
rumah sepi pukul 9 malam


Berharap beruntung

Suara lonceng stasiun terdengar. Kereta ini tiba pada akhir tujuannya. Melaju dengan hati- hati,
masuk dalam peron,
langkahku terhenti,
hati ini nyeri,
disambut terik matahari.
Aku kembali lagi,
kembali setelah dua minggu lalu yang sia- sia. Berharap kali ini beruntung.
Kota ini tetap begini,
tidak ada yang berubah,
tetap menjadi kota yang ribut,
kali ini menjadi kota yang ku benci.

Tetap didalam stasiun,
duduk di kursi panjang,
orang berlalu lalang,
datang dan pergi.
Aku tetap disini,
menanti sesuatu,
menanti keberuntungan.
Layar ponselku mati,
sungguh berharap layar itu menyala lalu mendapati seseorang menghubungi dan membawa pergi.
Waktu berlalu, tidak terjadi apa- apa.
"Siapa yang kau harapkan?" tanya kursi panjang itu,
barusan kursi itu menertawaiku.
Ku jawab "Dia"
sekarang kursi itu semakin tertawa, berlanjut dengan cemohan.
Kursi panjang itu sudah bosan ku duduki terlalu lama.
Segera aku pergi dari stasiun, meminta taksi membawaku ke tempat itu lagi,
seperti malam itu, tengah malam dua minggu yang lalu.
Disinilah aku,
siang menjadi sore,
sore menjelang malam,
langit tertutup awan hitam,
udara tetap panas.

Ku buka layar ponselku,
tidak ada pesan,
tidak ada panggilan.
Percakapan terakhirku dengan dia tetap tidak baik.
Terlalu perih, bagiku.
Mulai aku mengetik kata demi kata,
ku ketik lagi,
ku hapus lagi,
ku ketik lagi,
ku hapus lagi,
persis seperti yang ku lakukan beberapa hari ini.
Dengan ragu, ku ketik namanya, ku tekan tombol kirim.
Tentu saja jantungku berdebar, aku tidak tahu apa yang akan menantiku.
Tak berapa lama, terbalas pesanku.
Lalu aku berkata, "Aku ingin menemuimu, aku rindu padamu"
....
....
....
Dengan tulisan yang sama,
kata- kata yang sama,
keangkuhan yang masih sama,
dia tidak ingin bertemu.
Ku bujuk sekali lagi, dia menawari kesepakatan.
Kesepakatan yang membuatku harus menjauh darinya.
Kesepakatan yang membuatku harus membunuh perasaanku.
Untuk kedua kalinya,
aku kembali lagi,
ke kota yang ku benci ini,
harapanku sia-sia.

Aku bagai gelandangan di kota asing ini. Aku tidak tahu kemana lagi yang ku tuju, hanya dia yang ingin ku tuju.
Sekali lagi aku meminta padanya untuk kembali pulang bersama.
Namun hanya luka yang kudapat.
Butiran air hujan menjatuhiku,
gerimis membasahiku,
sengaja ku biarkan agar tak nampak air mataku.

Aku bagai gelandangan di kota asing ini.
Meski pernah lama tinggal bersamanya berbagi kisah disini, tetap saja kota asing bagiku.
Sepi menjadi teman berjalan,
aku menggigil,
kehangatan tak memanggil.
Kemana akan ku rebahkan tubuh yang lelah ini ?.

-Tertanda
lupa bawa jaket,
butuh minuman hangat.

Sebuah Nama

Kamu
Kamu
Kamu 
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu
Kamu

Hanya namamu yang ku tulis dalam buku kecilku, tidak ada yang lain hanya namamu. 
Hampir seharian aku berada dalam ruangan sempit sebelah kamar tidurku, yang bisa dikatakan ruangan itu dulunya kamar lamaku, kini menjadi ruangan penuh barang dengan dua lemari tua, serta celah kosong dalam ruangan itu ku jadikan tempat ibadah milikku. ntah mengapa aku menghabiskan waktuku disana, ibuku bahkan memerhatikan anaknya yang mulai aneh dengan tingkah lakunya. 
Aku berubah, begitu kata beliau. 
Ditemani dengan lagu lawas yang sangat ku gilai, berlembar- lembar kertas kusam, dan awan suram. 

Namamu, yang mewakili dirimu kini menemani sepiku. 
Hidup dalam nestapa bukanlah perkara mudah, aku tidak menginginkan ini. Hanya saja aku terlalu terikat pada dirimu. 
Berkali- kali kau mengatakan padaku, untuk menjauh dan melupakan dirimu.
Maaf, aku tidak bisa melupakanmu.
Aku benar- benar tidak mampu melepasmu.
Perihal kebahagiaan, untukmu akan selalu kudoakan. Aku rela memberi semua porsi milikku untukmu. Tidak apa asal kau bahagia tentunya. 
Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk menebus apapun kesalahanku padamu. 
Perasaan ini terlalu kuat untuk kau bunuh. 
Terlalu kuat, hingga aku membiarkannya berkembang liar dalam diriku. 
Hanya namamu yang mampu ku sebut. 
Hanya namamu. 

Namamu, begitu sering membawaku untuk berkelana menelusuri kenangan. 
Sungguh aku tidak mengerti mengapa kita begitu sulit untuk kembali bersama. 
Apa aku bukan orang yang kau mau? 
Apa aku bukan orang yang pantas bersanding denganmu? 
Apa aku bukan orang yang layak mendapatkan hatimu? 
Apa yang kita punya begitu besar ini tidak mampu menggerakkan perasaanmu? 
Apa yang kita miliki tidak berharga untukmu? 
Apa tidak cukup kita saling menyakiti?
Apa tidak cukup puas kau melihatku begini?
Beribu pertanyaan bersarang di pikiranku. 
Kini, hanya namamu yang mampu ku sebut.
Hanya namamu. 

Ditemani dengan lagu lawas yang sangat ku gilai, berlembar- lembar kertas kusam, dan awan suram. 
Udara mulai dingin, 
Sedingin hatimu,
Sedingin ucapanmu, 
Sedingin tulisanmu, 
Sedingin musim hari itu, 
Kau membenciku ya, aku tersenyum masam, 
Seperti aku yang mulai membenci bulan desember. 
Hanya namamu yang ku sebut,
Hanya namamu. 

-Tertanda
🎶 The Beatles - Yesterday. 

Setiap hujan

Setiap hujan,
aku memikirkanmu,
kau seakan menari- menari di pelupuk mataku,
membuatku terpejam lalu melihat kilasan balik tentang dirimu,
bibir ini melengkung menciptakan senyuman untukmu,
hangat memerah di wajahku,
kau ciptakan hal yang indah pada diriku.

Setiap hujan,
aku merasakanmu,
kau seakan dekat dalam denyut nadiku,
membuatku semakin menginginkan pelukanmu,
tanganmu yang menyentuh setiap inci tubuhku,
bibir ini selalu mendambakan ciumanmu,
darahku mendidih oleh panas sentuhanmu.

Setiap hujan
aku merindukanmu,
kau seakan alunan musik klasik penghantar tidurku,
membuatku hidup dalam mimpiku,
mencumbu bayanganmu,
memeluk erat angan tentangmu,
sudah gila kau buat diriku.

Setiap hujan,
aku menantimu,
kembali ke rumah yang masih menjadi milikmu,
kursi ayunan rotan di teras yang biasa kau duduki denganku menunggumu,
aku menunggumu,
menikmati senja kembali bersamamu,
melihat hamparan laut luas yang kusebut itu dirimu,
atau mendirikan tenda di tepi pantai yang kau inginkan denganku.

Setiap hujan,
aku jatuh cinta padamu.

-Tertanda
kabut tipis dan segelas teh kotak campur susu.

Pesan tak terkirim

Sayang,
Ijinkan aku memanggilmu sayang lagi. 
Sudah lama kita tidak bertemu. Begitu banyak cerita yang ingin ku sampaikan padamu.
Tentu saja, jika kau bersedia bertemu denganku lagi. 
Aku mengikuti kabarmu diluar sana. Kau tetap sehat. dan sepertinya, bahagia. 
Selalu ku doakan yang terbaik untukmu.
Meskipun aku tahu semakin sering mendoakanmu, semakin rasanya aku hancur sedikit demi sedikit. Namun kau salah satu alasanku untuk hidup, sayang. 
Kau alasanku mampu bertahan dalam hidupku yang telah kacau balau selama bertahun- tahun. 
Kau alasanku untuk berharap kembali, untuk yakin kembali, dan berdoa kembali.
Aku akui, hidupku kini tidak jauh beda setelah kau meninggalkanku di musim yang dingin itu. bahkan, lebih berantakan dari yang kau kira.

Mungkin sekarang kau sedang asyik menikmati kehidupan yang baru tanpa diriku. menertawai sikap bodohku yang masih saja mengharapkan dirimu, bagimu aku tak pantas untuk mendapatkan kesempatan kembali.
Kau benar, aku ini gagal. gagal menjagamu. terlalu ceroboh dan terlalu banyak kekurangan. Sudah sepantasnya tidak berani bermimpi tinggi untuk bersama denganmu.
Kau tidak suka perempuan yang gagal memenuhi ekspektasimu, semua harus sesuai dengan kesempurnaanmu. yang gagal lebih baik menyerah. tidak ada gunanya berharap lebih.

Tapi sayangku, aku tidak mudah untuk menyerah. aku ini bersungguh- sungguh ingin memperbaiki apapun itu yang bagimu salah dari diriku.  aku bersedia melakukan apa saja agar kau bahagia denganku. karena aku sudah menetapkan pilihan. dan bertahan dengan pilihan yang aku pilih.
Seperti kata Seno Gumira Ajidarma,

aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku mencintainya.

sekali lagi, kau tertawa membaca ini.
betapa bodohnya aku, katamu.

Kau ini laki-laki yang gemar menciptakan ironi.  kita mampu lebih dari ini, tapi kau sayang, kau tetap menolaknya. kau menyerah untuk dapat menghukumku. supaya senang melihatku sakit, bahkan lebih sakit dari apa yang kau rasakan.
Mengapa harus saling menyakiti, jika mampu saling membahagiakan?.
kau tidak mau tahu itu, kau menyerah.
Kata- katamu yang penuh keangkuhan akhirnya memilih untuk mengunci diri dengan sumpah mengatas namakan Tuhan untuk tidak akan kembali padaku.
Tepat setelah kalimat itu kau ucapkan didepanku, aku menyadari satu hal, sayang...
Selama ini tidak pernah ada aku di masa depanmu.

akhir pesan,
aku mencintaimu.

--Untuk lelaki pecinta sunyi dan secangkir kopi hitam.
                                        --Dari perempuan pecinta senja dan secangkir teh manis. 

Tulisan dalam botol

Sudah hampir empat jam matahari tertutup awan hitam. Selang beberapa menit setelah kata pertama tulisan ini, titik titik air memenuhi kaca jendela berbingkai coklat di sampingku. Angin menderu- deru, beradu dengan bunyi tetesan yang ribut. Hujan cukup deras.

Setiap hujan datang, pikiranku bagai proyektor film yang memutar berbagai hal tentang dirimu. 
Perasaan nyeri dalam dada, bagai gemuruh yang tak kunjung pergi. 
Tidak pergi, walaupun nantinya hujan akan reda. 

Setiap hujan datang, aku selalu berharap-entah itu adalah sebuah pengharapan atau bukan, hingga dua hari yang lalu ku tuliskan pada selembar kertas lusuh, ku masukkan dalam botol, lalu ku buang ke laut. 

Aku berharap tak pernah bertemu denganmu. 
supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam pikiranku. 
supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu. lalu terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku. 
namun...
jika aku tak pernah bertemu denganmu. 
mungkin, aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya benar- benar berdua saja denganmu. 
menikmati waktu yang bergulir tanpa terasa. 
menghabiskan hari- hari bersama tanpa peduli hal lainnya.
aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh- sungguh menyayangi dan disayangi sosok seindah senja seperti dirimu. 

---untuk lelaki pengisi "Hesperos"

Senja yang pergi

Senja,
apa yang lebih menyakitkan?
tidak bisa bertegur sapa denganmu lagi,
tidak bisa bertemu denganmu lagi,
atau menyadari bahwa aku telah kehilangan dirimu karena kesalahanku sendiri.

Senja,
aku merindukanmu,
sangat merindukanmu,
pikiranku selalu penuh tentang dirimu,
bahkan aku masih disini,
tidak sedikitpun ingin melangkah pergi.

Namun, semua sudah terlambat bukan?
sebesar apapun penyesalanku,
sebesar apapun hal yang sudah ku perbaiki,
sebesar apapun yang sudah kita miliki,
sebesar apapun hatiku untuk menunggu,
kau tidak akan kembali.


-Kamar bintang
tiga kaleng bir dan langit gelap yang menangis.

Kisah 4 Musim

Aku tertegun melihat dua lembar tiket bioskop yang kutemukan dibalik halaman novel yang sudah jarang ku baca. Tiket itu sudah lusuh, tulisannya saja sudah memudar. Aku masih ingat menonton film horror The Conjuring 2 pada pertengahan ujian beberapa semester lalu. Karena film itu akhirnya menjadi alasanku dan dia untuk keluar setelah beberapa hari memutuskan untuk tetap tinggal di apartemen. Setidaknya kami keluar untuk berkencan meskipun berhari-hari selalu bersama.

Tiket itu masih berada dalam genggamanku. Betapa hebatnya benda sekecil ini mampu membawa ingatanku kembali pada saat awal aku dan dia bertemu, hingga kini.

Awal musim semi, kami bertemu.
dia begitu menawan tentunya, dengan senyum dan mata coklatnya itu.
mulai ku tulis puisi dan prosa romantis dalam buku kecilku.
saling bertukar pesan hingga aku tertidur menunggu balasan selanjutnya.
meminta padaku untuk menemani malamnya dengan bernyanyi.
ciuman pertama yang membuat sekujur tubuhku gemetar.
kata-kata sayang yang kadang membuat kami tertawa, karena memang kami bukan dua orang yang suka dikelilingi oleh roman picisan dan bukan pengumbar kemesraan. hanya di dalam ruang privasi kami bebas melakukan apa saja yang kami inginkan. tanpa ada orang yang mengetahui.
pernah beberapa kali dia mengoceh dalam tidurnya memanggilku dan mengatakan perasaannya hingga memelukku untuk tetap berada disampingnya.
hatiku berbunga-bunga.
perutku bergolak seperti sejuta kupu-kupu bertebangan didalamnya.

Menghabiskan waktu bersama dengan dia di musim panas adalah hal yang terbaik dalam hidupku.
hanya berdua.
melewatkan waktu berhari-hari .
menonton tayangan televisi yang membosankan diatas sofa hitam.
mengobrol sepanjang malam hingga terbangun di siang hari.
berdansa dibawah shower dengan alunan musik jazz dan keroncong kesukaan kami.
dia enggan bangun dari ranjang, menyeretku untuk tetap tidur disampingnya.
kami sangat menikmati setiap malam yang ada. selalu mampu membuatku kehilangan kemampuanku berbicara, bahkan terlalu malu untuk menatapnya terang-terangan. disaat mata sensual itu terlihat menginginkanku sebesar aku menginginkan dia. bibir itu kerap kali membuatku semakin menyukainya, juga rasanya ketika dicecap dengan ujung lidah.
bersama dirinya adalah fantasi yang selama ini aku pikir hanya berakhir di kepala saja, namun dia disini, dia nyata.
rasanya hanya ada kami berdua di dunia ini. membuat kenangan indah bersama.
untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta.

Udara musim gugur membuatku merindukan dia. sudah dua bulan sejak dia pulang ke kota asal dan aku menunggunya disini. hanya bertukar pesan lewat virtual, namun kami tetap menanti hari dimana akan bertemu kembali.
dia selalu mengirim foto dirinya untukku, juga foto suasana kota asalnya. pantai yang dia sukai, cantiknya pemandangan dari villa miliknya, dan banyak hal lainnya yang dia kirim agar aku selalu tahu apa yang dia lewatkan setiap hari saat jauh dariku.
kami saling merindukan.
dan mulai saling menyakiti.
pertengkaran pertama yang akhirnya membuat kami gagal bertemu.
tentu aku menyesal karena menyulut kemarahannya.
hingga pertengkaran itu mereda bersama waktu kami bertemu kembali di kota tempat kami sudah menghabiskan waktu bersama.
dia kembali.
bahagia sekali aku bertemu dengannya, kami bersama seperti sedia kala.
ah, hangat sekali peluknya.
aku sangat merindukannya.

Hubungan terbangun oleh dua orang yang mampu bekerja sama dengan baik.
dengan bekerja sama timbulah kompromi lalu hubungan menjadi dewasa.
seharusnya masalah membuat kami saling mengerti satu sama lain, namun tidak ku sangka ternyata membuat kami menjauh.
mungkin aku sudah tidak mampu lagi, atau mungkin dia juga tidak mampu.
mungkin kami sudah lelah dengan pertengkaran yang kerap kali terjadi.
kadang dia bersikap lembut, kadang dia bersikap keras tak menentu. 
lalu, aku membuat kesalahan besar hingga dia sakit hati.
melanggar janji yang pernah kami buat pertama kali. 
merubah seseorang yang hangat, menjadi seseorang yang dingin.
merubah senyumnya yang tulus, menjadi senyuman penuh paksa.
merubah segala yang indah, menjadi kelam.
ucapan manisnya, menjadi ucapan yang kasar dan menyakitkan.
aku merengkuh dalam penyesalan. mencoba segala cara untuk meraihnya kembali.
namun hanya makian yang kudapat. seperti biasa, dia tetap menyalahkanku atas semua hal yang sudah terjadi.
aku selalu pulang membawa harapan kosong.
kenangan indah seperti tak ada harganya, terhapus oleh kemarahan juga kebencian yang ada di matanya. senja itu menghilang.
tepat di musim dingin, dia melangkah pergi.


-Tertanda
Kopi susu dan pesan yang tak pernah terbalas.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
dia mahasiswa disana.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
aku suka saat pertama melihatnya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
terdengar di telingaku lembut suaranya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
dia tinggi, tampan, dan sederhana.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
banyak gadis yang menyukainya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
aku selalu menatap punggungnya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
manis sekali senyumnya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
jantungku berdebar saat berkenalan dengannya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
dia suka sekali berenang katanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
aku banyak menghabiskan waktu bersamanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
dibuat kagum diriku oleh pikirannya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
dia menyukai lagu-lagu yang sama.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
kami suka sekali bercanda.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
bangsat, aku terpana.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
dia membuatku tergila-gila.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
sempurna sekali genggamannya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
tubuhku bergetar saat ku cium bibirnya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
hangat sekali pelukannya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
kita bagaikan cermin katanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
senja terindah ada di matanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
aku jatuh cinta.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
aku bersalah padanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
yang terlihat hanya kemarahan di matanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
mungkin aku sudah dibenci olehnya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
tajam sekali kata-katanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
selain memesona, dia sangat sadis dan mematikan rupanya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
kini aku kehilangannya.

Aku menemukan Kaname Kuran di Surabaya,
semoga dia bahagia.

-9.00pm
aku rindu.

Memandang jauh

"Sebenarnya, selama ini kau anggap kita apa?"

Aku mulai meragukan diriku sendiri.
Ah tidak, aku sudah lama meragukan diri sendiri.
Sikapmu yang membuatku dengan mudahnya untuk ragu dengan diri sendiri.
Sikapmu yang membuatku semakin kehilangan akal.
Atau memang aku yang semakin lemah.

Sepi menjadi jadi.
Kau menjadi pergi.
Aku menjadi risau.
Hingga aku tak mampu.

Hal terakhir yang aku ingat, hanyalah gerimis. Kita berdua berada dalam mobil, matamu menggambarkan kehinaan akan diriku, sedang aku hanya berkaca-kaca.
Mungkin sebentar lagi kau akan tertawa.
Menertawakan orang yang bersedih, karena tak mampu menjagamu atau tak mampu kau berikan makna pada hubungan ini.

"Sebenarnya, selama ini kau anggap kita apa?"

Kau tetap disana, tersenyum ceria.
Kau tetap diam, menciptakan kelam.
Aku tetap disini, melihat ironi.
Aku tetap duduk, mulai membusuk.

Perihal salah atau benar,
Bukankah hubungan adalah kerjasama antara kau dan aku?
Masihkah kau berkali-kali tetap memaki diriku seolah olah hanya aku yang salah?
Bahkan aku tidak bisa membencimu.
Kuanggap semua hanya aku yang bersalah.
Kekuranganku menyebabkan dirimu pergi.
Kelemahanku menyebabkan kehancuran akan diriku sendiri.

Ya, kesalahanku terlalu memandangmu hampir mendekati sempurna, sehingga yang tersisa dari diriku hanya kehinaan.

-11.00pm
Sejak kapan aku mulai memaki gerimis?

Ada yang bertanya padaku, "Kamu dimana?"

Aku menjawab,
Ruang hampa

Di keheningan malam
Duduk di sudut,
terbalut selimut putih,
tangan di dada menahan sesak,
tangis,
luka.
Suaraku mulai hilang bersama genangan sendu yang telah pecah dari mataku.

Di keheningan malam,
Tak ada angin,
Tak ada suara,
Sepi,
Pengap,
Suram.
Aku bagai gelandangan di rumah sendiri.
Menanti cahaya,
Menanti harapan,
Menanti seorang mengetuk pintu,
Menanti kamu untuk pulang.


-1am. 
Sekali lagi,
Usai disini?

Coba check in

Malam makin malam.
Mata makin nyala.
Bagai api tanpa panasnya.
Terasa dingin bagai kenangan kelam.


-Tertanda
12.16am
Aku yang berulang kali coba check in di hati kamu,
Tapi tulisannya, "There's no room available"
Gelandangan di malam sunyi.


Sisa sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan

Berkali kali ku putar lagu ini.
Masuk ke dalam playlist yang ku buat dulu tentang dirimu.
Dulu aku menamainya dengan "Hesperos", artinya bintang senja.
Bahkan aku belum merubah nama itu.
Playlist itu tetap ada, berisikan kumpulan lagu kesukaanmu, lagu kesukaanku, lagu tentang kita yang sering ku putar bersamamu. Seperti membuat soundtrack yang cocok untuk mengisi kisah ini.
Namun, kini hanya terisi lagu sedih dan aku bernyanyi dengan suara parau.

Jadi, bagaimana kabarmu?
Kau sudah mulai enggan membalas pesanku. 
Sungguh aneh rasanya tanpamu, tanpa tegur sapamu, tanpa ceritamu, tanpa candaanmu, tanpa suaramu.
Mungkin aku belum mampu terbiasa.
Kadang, aku membuka album foto kita yang masih tersimpan rapi.
Aku juga membuka kiriman video darimu, waktu itu kita sedang berjauhan, kau bilang kau ingin memelukku.
Sesekali pikiranku melayang kala kita masih saling tersenyum.
Ah, senyum itu...
Kapan aku bisa melihatnya kembali?
Senyum yang hanya tertuju padaku.
Pelukan itu, bibir itu, dan dirimu.

Oh hati, mengapa ini terasa sulit?
Sudah ku diamkan hatiku dalam peti kenyataan, namun aku gagal bertahan hingga ku biarkan ia berteriak.

Saat kau memilih untuk pergi, aku berusaha menarik harapan yang tersisa.
Namun kau tetap melangkah menjauh, memilih jalan menuju pintu darurat.
Sejauh langkahku untuk keluar, sejauh itu pula langkahku untuk kembali.
Aku bertanya- tanya, kemana kau disaat aku sedang dalam masa burukku? Sedangkan aku selalu ada untukmu.

Kini aku berjalan sendiri. Berjuang untuk melepaskanmu, walau aku tahu tak ada sedikitpun perasaan yang berkurang.

Maafkan aku yang telah menyakitimu,
Maafkan aku yang tidak bisa menjadi seorang yang kau mau,
Maafkan aku yang tidak sempurna.

Aku hanya benda rusak yang kau buat menjadi benda yang memiliki hati.

"Kita adalah sisa-sisa keikhlasan
Yang tak diikhlaskan
Bertiup tak berarah
Berarah ke ketiadaan
Akankah bisa bertemu
Kelak didalam perjumpaan abadi" - Payung Teduh


-Sincerely, yours. 
2.15am
Selimut tebal dan kenangan dingin.