Masih Mencari Sebuah Alasan

Aku ingin memiliki berbagai
alasan untuk terus berjalan.
Aku ingin memiliki berbagai
alasan untuk terus hidup.
Tapi aku tak menemukan
satupun alasan.
Jadi, untuk apa hidup?

                                     -sisi pandang Mahya dan penulis.


Mencari Sebuah Alasan

Pernahkah kau mendengar kisah tentang seorang anak laki-laki yang kerap kali mencari sebuah alasan untuk mempertahankan keberadaannya?
Aku pernah membacanya pada buku lusuh yang ku temukan di sudut rak perpustakaan daerah beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku masih kecil, aku tidak mengerti arti dari kisah itu. Atau mungkin sampai sekarang akupun tidak mengerti.
Jika kau tidak pernah, maka aku akan menceritakannya.

Alkisah, seorang anak laki-laki bernama Mahya tinggal di panti asuhan setelah kehilangan orangtuanya. Ibunya wanita separuh timur tengah meninggal karena penyakit, sedangkan Ayahnya bunuh diri setelah istri tercintanya meninggal. Selama dua belas tahun dia diasuh oleh seorang wanita paruh baya yang dipanggil Suster Anna, yang selalu dianggap sebagai pengganti ibunya. Meskipun dia selalu mendambakan sebuah keluarga seperti anak-anak yang datang ke gereja setiap minggu, dia tetap merasa hidupnya lengkap asal Suster Anna selalu bersama. Mahya anak yang ceria, dia suka bermain layang-layang, bermain bola walau hujan, sesekali menjahili anak perempuan hingga menangis, atau memanjat pohon dekat gereja untuk membolos sekolah. Suster Anna memang sangat menyayangi Mahya.
Wanita itu pernah berkata, "sesekali kau mungkin iri dengan mereka, tapi aku akan tetap disini menjagamu, jadi kau tidak perlu iri". Senyuman Mahya selalu membawanya pada kebahagiaan.
Hingga hari dimana Mahya mulai kehilangan senyumnya. Suster Anna terbaring damai dalam kubur. Mahya kehilangan orang yang dia cintai.

Dia memutuskan untuk pergi meninggalkan panti asuhan. Hidup sebatang kara bukanlah hal yang mudah. Berjalan tanpa arah. Berjalan tanpa tujuan, Mahya harus mencari tempat untuk menumpang tidur dan mencari makan. Demi membeli makan dia harus bekerja, kadang dia mencuri, dan kadang dia mengemis. Tidurpun hanya berbantal tangan, beralas koran, dan selimut lusuh yang dia temukan di tumpukan barang bekas.

Namun, seketika hidupnya mulai berubah saat rombongan sirkus menawarinya sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang mudah dengan upah kecil, namun Mahya mendapatkan kehangatan disana. Seperti, seorang pria besar berhidung besar pelempar pisau, menganggap Mahya sebagai anaknya sendiri. Gadis kecil berwajah boneka menganggap Mahya sebagai kakaknya. Pesulap cantik yang baik hati mengajari Mahya bermain sulap. Hal ini mengobati Mahya akan luka kehilangan orang tercinta. Dua tahun berlalu, berkeliling dunia bersama rombongan sirkus yang kini menjadi keluarganya. Tepat di musim dingin akhir tahun, panas api merah melahap habis sirkus mereka. Pria pelempar pisau itu mengorbankan diri melindungi Mahya, mendorongnya keluar dari kobaran api. Tidak tahu menahu mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Hingga api padam, Mahya mencari apapun yang tersisa. Dia tersadar, mereka semua telah tiada. Keluargaya sudah tiada. Dinginnya musim ini membekukan jiwanya. Mahya kehilangan lagi orang yang dia cintai.

Tuhan tidak pernah berada di pihaknya. Berkali-kali dia mengutuk diri sendiri bahwa dirinya tidak pantas untuk dilahirkan. Dia kehilangan segalanya. Ibunya, Ayanya, Suster Anna, Pria Besar, Gadis Boneka, Pesulap Cantik dan seluruh keluarga sirkusnya. Mereka semua pergi. Mahya sendirian.
Dia kembali berjalan tanpa arah. Berjalan tanpa tujuan.
Suatu hari, Mahya terbangun dibawah pohon besar diatas bukit. Tak lama seorang pengemis datang mendekatinya.
Wanita itu bertanya, "Siapa namamu?"
Dia menjawab, "Mahya"
Kemudian wanita itu tersenyum, "Kau tahu apa arti dari namamu?"
Mahya menggeleng tidak tahu.
"Artinya hidup"
Angin berhembus lebih kencang dari biasanya, memberikan jeda cukup lama diantara mereka.
Kemudian wanita itu bertanya lagi, "Jadi kau hidup untuk apa?"
Mahya terdiam. Pertanyaan wanita itu seakan-akan menggerogoti dirinya. Pikirannya sibuk bekerja mencari jawaban. Alasan keberadaanya. Alasan dia tetap bertahan.
Mahya segera berlari meninggalkan pengemis itu menuruni bukit menuju kota. Dia sibuk menanyakan orang satu per satu. Sebuah pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Kau hidup untuk apa?"
Perlukah alasan untuk itu?
Apa arti keberadaannya?
Mengapa dia tetap bertahan setelah semua kehilangan yang dia alami?
Lalu, hidup untuk apa?

Aku tak mengerti lanjutan dari kisah tersebut. Buku yang kubaca tidak sampai tamat. Halaman berikutnya telah tersobek. Mungkin ulah anak-anak yang tidak menghargai sebuah buku. Aku tidak tahu akhir dari kisah Mahya. Apakah dia akhirnya menemukan jawaban?. Apakah dia tetap bergumul didalamnya?. Apakah akhirnya dia memiliki keputusan lain?.

Saat kau terlalu banyak kehilangan, apakah ada alasan lagi untuk hidup?.
Tanda tanya itu belum terjawab. Kemudian aku terlelap.