Pecahan hati dalam kereta kuda

Sebulan sejak amarahmu memenuhi ruang hangat kita, kau memutuskan tidak lagi bertukar kabar denganku.
Surat darimu tidak kunjung datang lagi, bahkan puluhan surat yang ingin ku kirimkan padamu tertumpuk rapi diatas meja tulis dekat jendela kamarku.
 
Alasannya hanya satu, yaitu pada surat terakhirmu yang berisikan amarah dan makian yang jelas menggambarkan rasa kecewa padaku atas kesalahan yang ku buat.
Kau bilang, sudah tidak ada gunanya kita saling bertukar surat. Kau sudah tidak peduli padaku. Bahkan, kau membenciku. 

Sejak hari itu, aku menderita oleh kesalahan yang ku buat sendiri. Permintaan maafku kau anggap sampah.
Kesalahanku mampu membuatmu berpaling dariku jika kau ingin.
Namun, tetap saja kau dan aku mengalami kesalahpahaman hingga semua terasa begitu abu-abu.
Aku putus asa.

Hingga dua hari yang lalu, aku menerima surat lagi darimu. Sungguh, aku sangat senang. Aku sudah sangat menunggu kabar darimu.
Apa kabarmu?
Apa kau sehat?
Bagaimana keluargamu?
Apa kau masih peduli padaku?
Apa kau masih menyayangiku?
Bagaimana hubungan kita?

Segera kubaca isi surat darimu:
"Apa kabarmu? Aku harap kau baik-baik saja. Aku tidak sabar ingin bertemu denganmu.
Ah, bagaimana perasaanmu terhadapku? Perasaanmu tetap sama kan?
Aku ingin membicarakan sesuatu. Sesuatu yang membuatku bahagia. Sesuatu yang membuatku ingin menceritakannya padamu, ini sungguh hari terbaikku.
Besok datanglah ke taman kota, aku akan menunggumu di dalam kereta kuda milikku, sayang.
Kau merindukanku, bukan?
Terimakasih untuk semuanya.
Selamat atas pencapaianmu.
Jika kau tidak paham, aku akan membuatmu paham.
Bersabarlah sayang, ini akan menyenangkan.
Kita tertawa bersama."

Kau tahu? aku begitu girang menerima surat darimu, kau ingin bertemu denganku. Namun, dengan rasa heran, ini tidak sepertimu. Penuh dengan rasa curiga, apa yang akan kau katakan padaku?. Kenapa kata-katamu seolah ingin mengatakan selamat tinggal?
Terimakasih?
Selamat?
Apa maksudnya?
Ada apa ini? 
Sudah sebulan aku membuat kesalahan padamu, apakah kau sudah mampu memaafkanku? 
Semoga ini adalah kabar yang baik untuk kita.
Aku mulai berharap kembali.

Sore itu, aku datang ke taman kota dan melihat kereta kuda milikmu berhenti di sudut jalan seberang taman kota. Aku berjalan ke arahnya dan kusir milikmu memberiku hormat dan membuka pintu untukku. 
Kau disana, duduk dengan diam, lalu tersenyum.
Aku sangat merindukanmu.

Kau memerintahkan si kusir untuk membawa kita berkeliling. 
Aku hanya terdiam, aku malu melihatmu. Hingga akhirnya, kau bertanya soal perasaanku yang kau tahu jelas perasaanku masih sama terhadapmu, tanpa kurang sedikitpun.

"Baiklah, kita bicara" katamu.
Kau mengungkapkan kemarahanmu dengan tenang, kau mengungkapkan kesalahanku yang kau anggap fatal. Kita bertengkar kembali, namun kali ini kata-kata yang terucap berbeda. Sungguh lembut, namun tajam hingga mengiris kalbu. 
Kau panggil aku pengkhianat. Kau bilang aku hanya mimpi yang palsu. Kau tidak mampu mempercayaiku lagi.
Berkali-kali aku meminta maaf atas kesalahan apapun yang ku buat, yang bagimu itu salah. 
Lagi-lagi aku berpikir, mengapa ini semua harus tentang dirimu?
Tak bisakah kau menerima kurangku?. 
Bukankah kita saling menyayangi?.
Maafkan aku...

"Aku memaafkanmu dengan tulus, dan ini adalah akhir dari kita"

Lalu, aku turun dari kereta. Kau pun berlalu pergi.


-11.58. Ruang Hampa.
Aku benar-benar lupa cara tidur nyenyak...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar