Hujan Mengundang

Saya suka hujan
Saya suka bau tanah karena hujan
Saya suka dedaunan yang basah karena hujan
Saya suka saat hujan membasahi jendela kamar saya,
jendela mobil,
jendela kedai teh kesukaan saya,
jendela perpustakaan sekolah,
jendela kamar apartemenmu,
dan jendela kereta api yang saya tumpangi sekarang.
Saya mungkin telah mengatakan berulang-ulang, hingga kau lelah dan bosan mendengar saya mengoceh soal hujan.

Hujan mengingatkan saya tentang kenangan.

Saya duduk terdiam di sudut gerbong kereta. Sengaja memilih kursi  sebelah jendela hanya untuk melihat ke langit, lalu menyaksikan hujan seakan-akan berlari mengejar saya dalam perjalanan yang sudah memakan waktu hampir 3 jam ini.

Boleh saya katakan sesuatu?
Saya merindukanmu.
Sangat merindukanmu.
Bahkan saya mulai terbiasa menjadikan rindu sebagai sarapan setiap hari.
Atau mungkin cemilan di sore hari dengan secangkir kenangan akan kita saat rindu hanya ada di sela-sela jari.
Saya rindu hal-hal yang biasa kita lakukan.

Saya masih ingat dengan jelas. Bagaimana cara mata coklatmu selalu berhasil menembus hati menatap saya. 

Saya masih ingat dengan jelas.
Bagaimana cara suaramu yang begitu saya suka memanggil nama saya.

Saya masih ingat dengan jelas.
Bagaimana jari tanganmu yang entah mengapa terasa sangat sempurna ketika menggenggam tangan saya.

Saya masih ingat dengan amat jelas.
Bagaimana kedua sudut bibirmu itu melengkung ketika melihat saya.

Saya masih ingat dengan terlampau amat jelas.
Bagaimana kedua tanganmu terbuka lebar, berkata "peluk aku", lalu menunggu pelukan saya.

Bahkan saya masih ingat semua hal manis yang kita lakukan bersama.

Namun sekarang, saya sangat amat terlampau tahu. Karena kesalahan kita, hatimu sudah kau tarik paksa dari relung saya, memori saya, yang meninggalkan bekas mematikan yang terwujud dari tetes tetes air yang saya benci dari mata.

Kau kini meninggalkan saya dengan segala kenangan yang tersisa.
Merengkuh dalam penyesalan, hingga diriku kian menjadi abu.
Hari demi hari saya kumpulkan kepingan harapan yang saya percaya mungkin ada.
Namun kau tetap berkata, "ini sia sia".

Tak bisakah kita memulai kembali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar