Suara lonceng stasiun terdengar. Kereta ini tiba pada akhir tujuannya. Melaju dengan hati- hati,
masuk dalam peron,
langkahku terhenti,
hati ini nyeri,
disambut terik matahari.
Aku kembali lagi,
kembali setelah dua minggu lalu yang sia- sia. Berharap kali ini beruntung.
Kota ini tetap begini,
tidak ada yang berubah,
tetap menjadi kota yang ribut,
kali ini menjadi kota yang ku benci.
Tetap didalam stasiun,
duduk di kursi panjang,
orang berlalu lalang,
datang dan pergi.
Aku tetap disini,
menanti sesuatu,
menanti keberuntungan.
Layar ponselku mati,
sungguh berharap layar itu menyala lalu mendapati seseorang menghubungi dan membawa pergi.
Waktu berlalu, tidak terjadi apa- apa.
"Siapa yang kau harapkan?" tanya kursi panjang itu,
barusan kursi itu menertawaiku.
Ku jawab "Dia"
sekarang kursi itu semakin tertawa, berlanjut dengan cemohan.
Kursi panjang itu sudah bosan ku duduki terlalu lama.
Segera aku pergi dari stasiun, meminta taksi membawaku ke tempat itu lagi,
seperti malam itu, tengah malam dua minggu yang lalu.
Disinilah aku,
siang menjadi sore,
sore menjelang malam,
langit tertutup awan hitam,
udara tetap panas.
Ku buka layar ponselku,
tidak ada pesan,
tidak ada panggilan.
Percakapan terakhirku dengan dia tetap tidak baik.
Terlalu perih, bagiku.
Mulai aku mengetik kata demi kata,
ku ketik lagi,
ku hapus lagi,
ku ketik lagi,
ku hapus lagi,
persis seperti yang ku lakukan beberapa hari ini.
Dengan ragu, ku ketik namanya, ku tekan tombol kirim.
Tentu saja jantungku berdebar, aku tidak tahu apa yang akan menantiku.
Tak berapa lama, terbalas pesanku.
Lalu aku berkata, "Aku ingin menemuimu, aku rindu padamu"
....
....
....
Dengan tulisan yang sama,
kata- kata yang sama,
keangkuhan yang masih sama,
dia tidak ingin bertemu.
Ku bujuk sekali lagi, dia menawari kesepakatan.
Kesepakatan yang membuatku harus menjauh darinya.
Kesepakatan yang membuatku harus membunuh perasaanku.
Untuk kedua kalinya,
aku kembali lagi,
ke kota yang ku benci ini,
harapanku sia-sia.
Aku bagai gelandangan di kota asing ini. Aku tidak tahu kemana lagi yang ku tuju, hanya dia yang ingin ku tuju.
Sekali lagi aku meminta padanya untuk kembali pulang bersama.
Namun hanya luka yang kudapat.
Butiran air hujan menjatuhiku,
gerimis membasahiku,
sengaja ku biarkan agar tak nampak air mataku.
Aku bagai gelandangan di kota asing ini.
Meski pernah lama tinggal bersamanya berbagi kisah disini, tetap saja kota asing bagiku.
Sepi menjadi teman berjalan,
aku menggigil,
kehangatan tak memanggil.
Kemana akan ku rebahkan tubuh yang lelah ini ?.
-Tertanda
lupa bawa jaket,
butuh minuman hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar