Kini langit tak sebiru biasanya. Tumbuhan tandus, bunga
tak ingin bermekaran, kabut
memenjarakan kota ini dan jalanan
sepi. Mungkin orang-orang sedang tidur di dalam
rumah. Bukan, bukan seperti itu, mereka takut untuk keluar rumah. Takut akan keheningan,
takut akan teriakan, takut akan suara, takut akan kehilangan, takut akan
kematian.
Galael, kota yang
hijau dan damai. Orang-orang di sini
menghargai satu sama lain. Kami menjaga kota ini dengan baik. Hingga,
pelengseran walikota yang dituduh korupsi beberapa waktu lalu menimbulkan
kekacauan pada pemerintahan. Kekosongan kursi walikota menyebabkan perebutan
kekuasaan. Demo terjadi dimana-mana. Lalu, muncul suatu pemberontakan yang
anarkis ingin menguasai Galael untuk kepentingan kelompok mereka sendiri.
Seminggu yang
lalu, mereka memberi ultimatum kepada kami untuk tunduk dibawah kekuasaannya.
Namun, kami para pembela Galael tidak akan menyerah patuh pada pemberontak.
Mereka membantai orang-orang kami, merusak
gedung-gedung, pusat kesehatan dan pusat makanan, kemudian menculik
para petinggi dan ilmuwan. Semua terjadi begitu saja, sungguh
ini mimpi buruk. Mereka memberi kami gencatan senjata untuk berpikir kembali
tawaran busuk yang mereka berikan. Tunduk atau mati.
Banyak dari warga
Galael berlindung diri di dalam
rumah. Ada yang kabur menuju kota lain. Ada pula yang terlalu takut hingga
bunuh diri.
Terdengar bunyi
gergaji dari belakang rumah mungil berwarna
putih yang kini terlihat kusam, padahal baru seminggu yang lalu dicat kembali.
Hanya lima langkah dari halaman belakang rumah terdapat garasi yang cukup luas
dengan beberapa perkakas di dalamnya.
Jika pagi garasi itu nampak normal seperti garasi biasa. Jika malam garasi itu
nampak seperti rumah dalam film Slaughter House. Penerangannya sedikit.
Sengaja si pemilik membuatnya seperti itu. Di depan
pintunya saja terdapat tulisan “Dilarang Masuk”.
Aku melihat sosok
di balik pintu itu, sosok yang kubanggakan, kuhormati dan kucintai.
Badannya tegap dan tinggi, rambutnya mulai memutih, keringat menelusuri
pelipisnya. Wajahnya tampak gusar. Ia menggergaji sebuah kayu yang entah aku
tidak tahu apa gunanya.
Kuurungkan niatku
untuk masuk. Papa tak pernah mengizinkan siapapun masuk ke garasi sekaligus
studio kerjanya kecuali mama. Tidak, almarhum mama.
“Kalau mau masuk,
masuk saja” pemilik suara berat itu ternyata menyadari kehadiranku.
“Aku tidak akan
melarangmu lagi” ujar papa sambil tersenyum padaku.
Sungguh, aku cukup
terkejut melihat papa tersenyum lagi setelah seminggu yang tragis ini.
“Papa tidak
makan?”
“Kenapa? Apa
sekarang Karin bisa masak?”
Aku tersipu malu,
“kalau tidak ada aku siapa lagi yang akan mengurusi rumah dan papa?”
Perlahan senyum di wajahnya
menghilang digantikan oleh senyuman pahit. Kayu yang terpotong itu terlihat
seperti papa. Kehilangan mama bukan hal yang mudah. Kehilangan apa yang ia
perjuangkan adalah derita. Papa kehilangan kota ini dan tidak lama lagi papa
akan kehilangan aku.
“Masih ingat dulu
kita sering bersama-sama?” tanya papa.
Aku mengangguk.
Papa merapikan potongan kayu tadi dan mengambil kotak kecil dari lemari usang
di sudut. Ia mendekatiku,
“Karin sudah dewasa, sudah bisa mandiri. Papa akan bangga padamu”.
Papa membuka kotak
kecil itu, dan memperlihatkan beberapa peluru. Ia mengambil salah satu peluru
yang ukurannya berbeda dengan peluru lainnya.
“Ini peluru yang
menembus kepala mamamu,” ia memandang hina peluru itu “mereka telah membunuh
istriku! Satu-satunya wanita yang kucintai!”.
Papa telah berubah
menjadi orang lain. Pria penuh dendam. Pria penuh kebencian. Hatinya sakit.
Kesepian menggerogoti jiwanya. Terlihat air mata jatuh di sudut
bibirnya. Aku pun bersedih, aku
kesal. Mengapa hal ini terjadi pada kami?
Kuhapus air
matanya. Papa memelukku erat. “Kita masih berjuang, kita
belum kalah, akan kurebut kembali Galael. Akan kubuat para pemberontak itu
menyerah. Ini kota kita akan tetap menjadi milik kita!”
“Aku akan membalas
kematian mamamu. Karin, hiduplah yang baik!”
Tiba-tiba
terdengar bunyi sirine dari kejauhan, tanda warga sipil siap melawan kembali
para pemberontak yang akan menguasai Kota Galael.
Papa melepas
pelukannya dan mengambil senapan. Ia mengecup kepalaku. Kurasakan kehangatan
dihati ini.
“Pa, aku
menyayangimu”
“Papa juga
menyayangimu”
Kini yang kulihat
hanya punggung tegap papa yang bergerak menjauh. Kemudian, tangisku pecah.
Awan mendung
mengantar para pembela Galael untuk berperang. Petir menggelegar membawa
suasana makin mencekam. Tak lama, rintikan air hujan membasahi kota ini. Bunyi
dentuman senjata terdengar jelas bersamaan
dengan suara orang-orang berteriak “Hidup Galael!”.
Beberapa jam telah
berlalu, rupanya
hujan telah berhenti. Seorang laki-laki berteriak mengelilingi kota mengumumkan
bahwa para pembela telah menang. Aku terkejut sekaligus senang. Segera aku
keluar rumah dan menuju pusat kota mencari Papa.
Disepanjang jalan
banyak korban berjatuhan. Aku mulai gelisah. Tak kulihat papa dimanapun. Papa
dimana? Apa papa baik-baik saja?.
Hingga akhirnya,
sosok yang kucari itu muncul dengan nafas tak beraturan. Wajahnya kusam karena
debu, darah berlumuran mengotori bajunya, tubuhnya kelelahan dan yang paling
indah adalah papa tersenyum tulus.
Aku tak dapat
membendung air mataku. Aku berlari ke arahnya dan memeluknya.
Awalnya aku
berpikir ini semua sudah berakhir. Namun, dibalik papa bangkitlah seorang
laki-laki dengan terhuyung-huyung mengarahkan senjatanya pada papa. Dalam waktu
kurang dari sedetik, sebuah peluru menembus dada papa. Nafasku tercekat.
Cipratan darah mengenai wajahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar